BAB 31: UNIK, KHAS, SATU

12 2 0
                                    

Menjelang senja, ruang utama panti asuhan hangat oleh derai tawa dan selingan protes lucu dari adik-adik yang kalah bermain ular tangga. Semua orang nampak sedang sibuk berbahagia. Termasuk Alan, yang turut duduk melingkar sembari menyeruput jus jambu dan menghabiskan sepiring penuh pisang goreng buatan Bunda. Lelaki itu terus tersenyum, sabit mendadak berorbit dimatanya, seolah luka duka yang pernah ada dapat hilang pada sekali kedipan mata.

"Yes, menang lagi!" lonjaknya bahagia.

"Ih, mas Alan ih!" protes Satria kesal.

"Iya, hoki mulu." Saut Satya.

"Ye, ini bukan hoki. Ini berarti mas pinter."

Dua lelaki kecil itu cemberut, "Nanti yang kalah harus cuci piring, ya!" ujar Satya yang disambut anggukan berat pada kepala Satria.

"Nggak, basah semua nanti!" saut Kinan yang sedang berjalan sembari membawa sekeranjang penuh pakaian basah, "Taruh meja makan aja, biar mbak yang cuci."

"Biarin, to, Nan." sergah Bunda dari meja makan, "Adik-adikmu nanti kalau dilarang terus kapan bisanya?"

"Berantakan, Bunda. Bersih enggak, busanya dimana-mana." Protes Kinan.

Bunda menggeleng mantap, "Nggak papa, namanya juga belajar."

"Iya, Bunda." Jawab Kinan menyerah.

"Huuuu!" ejek Satya sembari menjulurkan lidahnya, "Nggak papa, ya!"

"Apa kamu!"

"Ipi kimi!" saut Satria turut andil mengejek Kinan.

"Loh-" Ketika Kinan siap mencubit pipi kedua adiknya yang sangat nakal itu, Alan menghadangnya.

Ia tersenyum, memindah keranjang cucian ketangannya, "Dijemur didepan?" tanyanya. Kinan mengangguk patah-patah. "Yaudah, yuk." Ajaknya.

"Lanjutin dulu ya mainnya!" pamitnya pada Satria dan Satya yang sontak mengangguk bersamaan.

Dua muda itu seketika mengheningkan riuh, sibuk bergelut dengan baju-baju basah. Tidak ada percakapan atau tawa yang sengaja mereka ciptakan, seolah sama-sama sadar setiap orang butuh kesendirian. Namun, sesekali mata Alan diam-diam mencuri pandang pada Kinan. Mencoba meneliti pikiran apa yang sedang digelutinya akhir-akhir ini, hingga ia nampak semurung itu.

Menit berlalu, pakaian-pakaian basah mulai mendasar. Ketika Kinan hendak mengambil helai pakaian terakhir dari dalam keranjang, tangannya tak sengaja berpapasan dengan Alan. Ia terhenyak sejenak, merasakan jantung yang hampir meledak, kemudian buru-buru menarik tangannya dan membuang mata kesembarang arah. Sementara itu, Alan tersenyum tipis menyaksikan sekelumit kegugupan Kinan dihadapannya. Gadis itu nampak lucu, malah sangat lucu.

Tidak membiarkan tangannya mengambang lebih lama, Kinan segera mengambil helai pakaian terakhir lebih dulu dari Alan. Namun, lelaki yang terus menganggumi ekspresi lucunya itu malah mengenggam tangannya erat-erat. Mata hangatnya lembut menusuk Kinan hingga membuat sang gadis tak mampu mengerjap.

Ia mematung, jantungnya berdegup kencang. Lan, jangan mempermainkanku... Kata orang, cinta adalah soal keraguan. Namun, Aku membenciku yang ragu, meski dengan sadar selalu jatuh lebih dalam pada pelukmu.

Ah, tunggu, apa baru saja aku mengaku bahwa: aku mencintaimu?

-Batin Kinan.

Alan memiringkan kepala, merebahkan senyumnya semakin lebar, "Senyum dong, belum lihat Kinan senyum hari ini." ujarnya.

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang