BAB 11: MONOLOG

50 6 0
                                    

Dibalik tirai merah yang memisahkan kenyataan dan harapan, Kinan meremas tangannya cemas. Disampingnya, Alan duduk menunduk khusyu' melafalkan nada-nada pada dentingan gitar. Hari ini, adalah harinya. Hari dimana laboratorium bahasa yang AC nya sering rusak, berubah menjadi ruang hitam dengan panggung kayu yang dihiasi lampu-lampu kuning pada tiap sudutnya. Hari ini, adalah harinya. Hari dimana orang-orang akan menepuk punggung mereka dan berbisik, 'Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Cukup lakukanlah yang terbaik.'

Kinan menghela nafas dalam, cemasnya semakin ganas. Mungkin benar, tidak ada usaha yang mengkhianti hasil. Tapi orang-orang sering lupa, bahwa selalu ada hasil yang mengkhianati usaha.

"Nan," panggil Johan yang turut gelisah dengan gelagat sahabatnya. Kinan tidak boleh cemas, atau Hyperpnea akan mengamuk lagi siang ini. Lelaki itu menyodorkan sebotol minuman soda –kesukaan Kinan, "Nafas dulu."

Gadis itu tersenyum kecil dan menggeleng, "Habis ini tampil, mana bisa minum gitu."

Alan mendengus, kala tak sengaja menatap dua manusia yang sedang berbagi senyum kecil dihadapannya. Ia muak. Johan terlalu ketara, sedang Kinan terus sibuk pura-pura tak peka. Sebenarnya, pada siapa mereka menipu? Toh, seluruh ruangan ini jelas tau bahwa sedari tadi mata Johan tak sejengkalpun lepas dari kegelisahan Kinan. Bahkan seluruh ruangan ini jelas sadar bahwa senyum Kinan hanya tercipta saat Johan berbicara padanya. Pada siapa mereka menipu? Pada dunia atau pada mereka sendiri?

"Eh Nan, kemari aku baca thread gitu di twitter. Lupa deh siapa yang nge-tweet tapi isinya mindblowing banget, Nan."

Kinan menanggalkan kertas puisinya, "Emang apa? Pasti nggak penting."

"TK tadika mesra, itu sebenarnya Cuma kedok buat nutupin pesugihannya cikgu besar. Dulu, ada salah satu murid yang pernah jadi tumbal. Terus, sekarang kabarnya, cikgu jasmine yang jadi tumbal. Nyadar nggak sih, tiba-tiba cikgu Jasmine digantikan sama cikgu Melati?"

Gadis itu tertawa renyah sekali, "Apaan sih, random banget!"

"Ih serius tau, Nan. Terus ya, ada konspirasi juga dibalik dokter gigi yang sering dateng ke TK. Itu juga termasuk kedoknya cikgu besar!" jawab Johan berapi-api.

Kinan memukul lengan Johan gemas, "Apasih nggak jelas!"

"Nggak semuanya harus jelas. Kadang hal-hal buram justru membuat sesuatu tampak lebih sempurna."

"Oh ya, contohnya apa?" tantang Kinan.

"Tata panggung." Saut Alan.

Semua mata sempurna menatapnya menuntut penjelasan. Lelaki itu menunduk, kembali mendentingkan gitar.

"Kok?" tanya Kinan tak terima, "Tata panggung bukan sesuatu yang buram. Tata panggung itu seni."

"Seni untuk memperindah pertunjukan. Seni untuk memperkuat karakter tokoh. Seni latar belakang. Dengan adanya tata panggung, pertunjukan semakin indah. Penokohan semakian kuat. Dan latar belakang cerita makin kental." Ia menatap Kinan sejenak, "Benar kan?"

Gadis itu mengangguk ragu.

"Bukannya itu yang dimaksud cowok lo? Buram, namun menyempurnakan."

Johan dan Kinan saling berpandangan, pembahasan ini terlalu berat untuk sepuluh menit sebelum lomba digelar.

"Seperti halnya kita pada hidup orang lain. Buram, namun ada untuk melengkapi."

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang