BAB 7: DENOTASI

31 4 1
                                    

Petang ini, halaman Panti Asuhan sedikit lebih redup dari ingatan Alan tentang sore itu. Bayangan riuh tawa anak-anak dipikirannya, kini ditampar kenyataan redup lampu-lampu taman. Lelaki itu merasa kosong, ada yang hilang –entah harapan atau malah ekspetasinya.

"Kalau malam emang sepi." Ujar Kinan seolah membaca pandangan Alan, "Waktunya belajar."

Alan mengangguk-angguk, "Ohh, pantes."

"By the way, makasih ya udah-"

"Kinan?" dari arah pintu, suara perempuan paruh baya menyela percakapan.

Gadis yang telah menanggalkan kunciran rambutnya itu menoleh sedikit terkejut, "Bunda? Kok udah pulang?"

Mendengar kata 'Bunda' yang dilontarkan Kinan, Alan buru-buru melepas helmnya dan berdiri kaku.

"Iya, udah nggak kerjaan." Ujarnya sembari melangkah mendekat. "Eh, ini siapa, Nan? Kok bunda nggak pernah kenal."

"Partner baru buat lomba, Bun, yang kemarin aku ceritain."

Merasa disinggung, Alan segera menjabat tangan bunda, "Alan, tante."

Perempuan yang telah menjadi wali Kinan sebelas tahun belakangan itu tersenyum lembut menatapnya, "Panggil bunda aja." Pintanya, "Alan mampir dulu ya, makan malam dulu."

"Nggak usah bunda, makasih." Tolaknya halus.

"Saya nggak nawarin, loh, saya nyuruh." Desak Bunda, "Pamali loh nolak perintah orang tua."

Alan mengusap tengkuknya –salah tingkah, "I-iya, bunda." Ucapnya lirih.

"Nah gitu, dong!" seru Kinan, "Yaudah Bunda, aku masuk kedalam dulu ya bantu adik-adik nyiapin makan. Lan, tunggu diruang tamu ya."

Lelaki itu mengangguk tipis, walau sebenarnya tidak mengerti apa yang harus ia tunggu. Ia hanya diam, berdiri kaku disamping Bunda yang terus menggelar senyum hangat.

"Masuk yuk, Lan." Ajak bunda.

Dibalik tembok bercat warna-warni yang kontras dengan cokelat pintu kayu, sebuah ruang lapang menyambut manik matanya. Dilihat dari sofa hijau lumut disisi tembok, hamparan karpet lembut yang sudut-sudutnya tertutup mainan, dan sebuah meja besar yang dilingkari kursi-kursi plastik, ruang ini jelas ruang utama. Ruang yang mempersatukan kesibukan penghuninya lewat gurau dan percakapan hangat.

Satu bola plastik menggelinding kearahnya. Dari arah yang sama, seorang anak laki-laki –berumur empat atau lima tahun berlarian mengejar. Alan menangkap bola itu dan mengembalikan padanya, "Ini." ucapnya lembut.

"Satria." Panggil bunda dengan nada lembut. Dihadangnya bocah kecil itu sebelum sempat ia berlari lebih jauh, "Main bola diruang tamu boleh atau nggak?"

"Yang lempal Tian kok, bunda!" bantahnya.

Bunda melirik kearah sudut, "Terus, Satria yang nangkep?"

Bocah kecil itu mengangguk tidak berdosa.

"Kalau gitu bunda tanya, jam segini harusnya main bola atau bantu Mbak Kinan siapin makan malam?"

"Tadi, Tia udah bantu kok, bunda." Kilahnya lagi.

"Dijawab dulu pertanyaannya bunda," ujarnya sabar, "Jam segini harusnya main lempar tangkap bola atau bantu Mbak Kinan siapin makan malam?"

Satria cemberut, "Bantu mbak Kinan." jawabnya kesal.

"Pinter! Dapat seratus." Puji bunda, "Jadi, tadi Satria main bola nggak bantu mbak Kinan ya?"

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang