BAB 39 : KINAN'S

7 2 0
                                    

Di baris teratas tribun lapangan sepak bola barat daya sekolah, Kinan menyandarkan punggung, menatap sekawannya yang tak kunjung mengusaikan permainan baseball. Mata gadis itu turut berlarian, dari satu base ke base lain, hingga bisa dibilang hampir homerun jika saja seorang lelaki yang amat ia rindukan beberapa pekan ini sekelebat menatapnya tak sengaja. Kinan cepat-cepat mengerjap, memendarkan pandang ke sembarang arah. Kecanggungan menamparnya telak.

Inilah yang terjadi antaranya dan Alan semenjak hari itu.

Tak ada lagi kata yang terucap, pesan yang saling berbalas, atau sekadar gumaman gitar di laboratorium bahasa. Mereka begitu asing. Sangatlah asing. Bermalam-malam, Kinan menyesali kelancangannya. Namun bermalam-malam pula, ia menyadari itu hal yang benar.

"Ya diajak ngomong langsung gitu loh, masa dilihatin mulu."

Kinan menoleh, menatap suara bersahabat yang datang tiba-tiba. Gavinda.

Gadis itu meletakkan sekotak susu cokelat untuk Kinan, "Titipan dari Johan." Ujarnya.

Kinan menatap sekotak susu itu dan tersenyum, "Tumben nggak ngasih sendiri." Ujarnya.

"Takut ganggu katanya." Gavinda menghela nafas, meluruskan kedua kakinya. "Ya, bayangin aja, dia mau kesini kasih susu. Eh- yang didatengin malah asyik ngelihatin cowok lain."

Kinan mengangkat susu pemberian Johan dan memeluknya di pangkuan, "Kelihatan ya?"

"Iyalah!" sergah Gavinda cepat, "Yang main tuh selapangan, tapi Kinan-"

"Johan." Potong Kinan cepat, "Johan maksudnya."

Gavinda mengerjap, mencoba memahami arah bicara Kinan.

Gadis itu tersenyum, menatap sahabatnya, "Johan padaku dan aku pada johan, maksudnya."

Mendengar itu, Gavinda meluruh. Baru pertama kali ia mendengar seorang Kinan mengutarkan perasaannya terus terang. Apalagi menyangkut soal Johan, sosok yang dipatahkan keberadaannya mentah-mentah sejak lama.

"Aku tau kali, Vin, Johan punya perasaan yang lebih dari sekadar teman ke aku. Ya, meskipun dia sama sekali nggak pernah mengungkapkan secara langsung. Semua tersirat, tapi aku paham."

"Cuma pura-pura bodoh."

Kinan melipat senyumnya, "Cuma pura-pura bodoh."

"Tapi, kenapa?" tanya Gavinda tak paham, "Johan, semua tentang Johan Cuma kamu Nan. Seisi sekolahpun taunya Johan ya sama Kinan. Tapi kenapa kamu selalu menyangkal? Bukannya itu malah bikin kamu dan Johan suatu saat menjadi canggung?"

Kinan menunduk. Tak tau harus menjawab apa.

"Kalau kamu sengaja berlari untuk dikejar, kamu egois. Yang punya perasaan bukan Cuma kamu aja. Yang punya ketakutan untuk memulai hubungan juga bukan kamu aja. Cinta itu nggak sebercanda itu, Nan."

Kinan masih diam, matanya hanyut kedalam sedotan kotak susu.

"Kenapa, Nan? Kenapa kamu selalu menyangkal keberadaan Johan?" tanya Gavinda dengan nada melembut, "Karena Alan?" tanyanya hati-hati.

Mata cokelat terang gadis itu berhenti, tak berkedip maupun berdenyut. Kepalanya sibuk menyangkal, lebih enggan menjawab.

"Kamu masih bingung ya sama perasaanmu?" Gavinda menggengam lembut tangan sahabatnya, "Cerita, Nan. Kamu nggak akan dapat jawaban hanya dengan mendengarkan dirimu sendiri, yang bahkan sebenarnya nggak tau apa pertanyaannya."

Kinan mengangguk, membenarkan.

"Aku nggak maksa kamu cerita sekarang, take your time aja. Cuma-"

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang