BAB 22: ORANG BAIK

24 3 0
                                    

Di sudut taman, di bangku kayu tua yang dipahat panjang, Bunda menanam matanya dalam-dalam ke bunga mawar yang mekar dikejauhan. Hadiah ulang tahun ke lima belas Kinan dari Johan. Masih hangat diingatan Bunda, Kinan yang datang berlarian sembari memeluk polybag yang bagian kanannya sedikit robek. Masih lengkap dengan seragam sekolahnya yang kini penuh tanah kering ia berkata penuh senyum, 'Dari Johan, bunda.'. Senyum itu, adalah senyum yang lebih lebar daripada senyum yang pernah ia pamerkan sebelumnya. Lebih lebar dari saat ia menerima penghargaan, kiriman baju dari kakak-kakak panti asuhan, atau undangan makan malam mewah dengan direktur rumah sakit Bunda.

Senyuman itu sangat lebar, sampai Bunda merasa tidak perlu lagi berharap ada senyum yang lebih luar biasa dari itu. Namun, semesta memang bercanda. Ia senang mengabulkan doa yang tak pernah terucap. Seperti sore ini, ketika tiba-tiba sepeda motor antik yang beberapa bulan kebelakangan menghiasi taman panti asuhan berhenti begitu saja di halaman depan.

Kinan pulang, bersama Alan, dengan senyum yang lebih lebar dari yang pernah dilukiskan Johan diwajahnya. Kini, sudut bibir Bunda terangkat. Melihat Kinan berani pulang dengan buncahan kebahagiaan setelah membohonginya, Ia sadar, gadis kecil itu kini telah beranjak dewasa. Tidak ada rasa marah dihati Bunda, barang secuil. Sesiapa saja pasti akan melewati fase ini. Fase jatuh hati.

"Eh Alan." Sapa Bunda yang disambut perubahan ekspresi signifikan diwajah Kinan, "Bunda kira kerja kelompok sama Gavin atau Okta, ternyata sama Alan, to? Udah selesai tugasnya?"

Mata Kinan bergulir takut-takut membalas tatapan heran milik Alan. Gadis itu menggigit ujung bibirnya, kehilangan kata-kata. Kebisuan ini benar-benar menangkapnya basah.

"Eh, bu-"

"Sudah, bunda. Ya, meskipun Kinan yang lebih banyak ngerjain sih. Aku nggak tau apa-apa soalnya."

"Nggak papa, yang penting saling ngajarin ya, Nan?" ujar Bunda sembari menepuk halus pundak Kinan.

"Iya, Bunda." Jawabnya gugup. "Bunda kok tumben sudah pulang? Biasanya kalau hari Jumat agak malam."

"Iya, nggak banyak pasien hari ini." ujarnya. Bunda melirik kearah kresek hitam yang dibawa Kinan, "Itu apa, Nan?"

"Ah, ice cream, bunda. Buat adik-adik, dibeliin Alan." Jawabnya.

"Wah, makasih ya, nak!" ujar Bunda penuh senyum, "Yaudah cepet dikasih adik-adiknya, Nan."

"Iya, bunda." Ujar Kinan lantas beranjak pergi meninggalkan Alan dengan kecanggungan yang ia ciptakan sendiri.

"Alan makan malam disini kan?"

"Nggak ngerepotin, bunda?" tanya Alan malu-malu.

"Ah, nggak lah. Malah Bunda yang lebih sering ngerepotin Alan." Jawab Bunda santai. Alan menoleh, menamatkan kata-kata bunda. "Alan lebih sering jagain Kinan dari pada Bunda. Terimakasih, ya?"

Lelaki itu menunduk, mengusap tengkuknya, "Nggak kok Bunda, aku nggak pernah jagain Kinan, malah Kinan yang lebih sering jagain aku. Kinan lebih bisa jaga diri sendiri."

"Menurutmu begitu?" tanya Bunda. Ternyata, Alan tidak tau banyak tentang Kinan.

Alan mengangguk sopan.

"Tapi, Alan, beberapa waktu yang lalu pasien bunda datang dengan pakaian yang begitu 'cetar' –kalau kata anak sekarang, bukan pakaian yang selayaknya dipakai untuk kunjungan dokter. Semua orang memuji kepercayaan dirinya memakai pakaian seperti itu. Tapi bunda tidak, bunda tau, orang-orang sepertinya adalah orang yang sebenarnya memiliki banyak ketakutan. Baju itu seperti rompi baja, yang melindunginya dari ketakutan-ketakutan itu." Bunda menatap Alan, "Setiap orang punya cara unik untuk melindungi diri. Ada yang bernampilan megah, ada yang bersikap keras, ada yang diam saja, ada yang terus tertawa, ada yang ingin terlihat garan dan lain sebagainya. Maka dari itu jangan pernah menilai kebahagiaan seseorang dari caranya tertawa. Karena yang tertawa paling keras, biasanya menangis untuk lebih keras lagi."

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang