BAB 27: HAPPY BIRTHDAY, MOM!

18 2 0
                                    

Sore terlalu mendung untuk disebut senja. Bahkan awan hitamnya sengaja menggurat segala luka dan asa diatas langit. Sesekali, ia mengaum, menunjukkan seberapa perkasa ia mampu mengobrak-abrik bumi dengan badai. Iya, badai. Pilu yang disalah artikan menjadi sendu lewat rangkaian prosa para pujangga. Harusnya, tak perlu meromantisasi badai. Bila pilu, biarlah pilu. Setiap orang berhak merasakan itu.

Setidaknya itu, sekelumit pikiran Johan yang sedang menatap langit mendung dari balik jendela kamarnya. Ia menghela nafas dalam, semua begitu sesak. Ia sadar, selama tidak diatur pada undang-undang, mimpi bukanlah kejahatan. Tapi mengapa dunia membuatnya seperti ini? mengapa dunia membatasinya pada norma-norma yang berlaku? Norma pertama, berbakti pada orang tua. Norma kedua, melanjutkan gelar keluarga. Nomor tiga, dilarang menjadi anak memalukan.

Ini baru mimpi, mimpi menjadi mahasiswa jurusan hukum universitas ternama. Baru sebatas itu, belum menjadikannya kenyataan. Kalau mimpi dilarang, bagaimana bisa Tuhan tau doa-doa hambanya?

Johan mengeluh, meremas pena hitam ditangannya. Soal-soal SAINTEK yang digelar dimeja begitu memuakkan. Angka-angka, logika-logika, matematika dan IPA. Bagaimana bisa seseorang dipaksa mengerjakan sesuatu yang sama sekali tak sejalan dengan dirinya?

Tidak bisakah siswa memilih ingin menjadi apa dan berkembang disana? Tidak bisakah sekolah membuka kelas musik, yang membuat siswanya berlatih penuh disana tanpa khawatir gagal diujian matematika? Tidak bisakah sekolah membuka kelas seni, yang membuat siswanya tenggelam pada angka tanpa khawatir mendapatkan delapan lima diujian fisika? Tidak bisakah sesekolah menjadi sesuatu yang lebih dari penjara berlabel 'Sekolah menengah'.

Ditengah pikirannya yang semburat, satu getaran telepon segera menyelamatkannya. Dari Kinan, gadis yang tak pernah membuatnya kecewa sekalipun sedang meromantisasi luka.

"Johan!" teriaknya dari seberang sana, "Tidur? Jadi nggak?"

Lelaki itu menatap jam dinding hadiah dari Kinan dibelakang kepalanya, "Katanya jam setengah lima?"

"Ya kan kalau aku nggak masak." Protesnya.

"Lah, kamu emang sekarang nggak masak?"

"Enggak, bunda beli makanan."

"Gitu nggak bilang."

"Kamu nggak nanya."

Lelaki itu terkekeh, "Yaudah iya, maaf ya, Tuan putri."

Gadis itu tertawa puas, merasa memenangkan pertandingan, "Yaudah buru berangkat."

"Mama pulang jam delapan kok."

"Terus, mau berangkat jam delapan?"
"Ya, enggak, Kinanku."

"Yaudah buru, kamu itu lama siap-siapnya. Kayak di toko kue mau ketemu siapa aja."

"Ya kan ketemu kamu, masak nggak ganteng?"

"Dahlah, aku tutup." Ujar Gadis itu kemudian mengakhiri panggilan sepihak.

Johan tersenyum kecil. Matanya beralih menekuni tubuhnya didalam cermin. Meskipun belum mandi sejak pagi tadi, ternyata ia masih setampan ini. Lelaki itu bangkit, menyemprotkan parfum disetiap inchi tubuhnya, mengobrak-abrik lemari pakaian demi memilih warna yang paling Kinan suka, lantas segera bergegas menjemput sang pujaan hati.

Jarak rumah Johan dan panti asuhan tempat Kinan bernaung tak terlalu jauh, hanya memakan waktu lima belas menit itupun karena macet. Tapi jujur saja, bagi Johan jarak darimanapun menuju tempat Kinan berdiri adalah jarak yang paling jauh. Waktu bahkan melambat, seolah dengan sengaja tak membiarkan mereka bertemu lebih cepat.

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang