BAB 17: BAHAGIA

30 4 3
                                    

Siang semakin benderang, mentari semarak membakar ketiak-ketiak siswa yang sesekali ditiup kipas angin dari sudut-sudut ruang. Separuh dari mereka mulai grasak-grusuk. Tanpa welas, tangan-tangan kasar mereka membolak-balikkan halaman yang sama-sama jenuh dihujami tinta warna-warni tanpa arti. Sedang separuh lain mulai keberatan menahan kepala. Bermodal lingkar mata menghitam, kepala-kepala itu disusun rapi bersama buku-buku tebal dan jaket hangat diatas meja belajar.

Rupanya bagi mereka, materi siang ini tak lebih dari buaian dongeng sebelum tidur.

Dari sudut pandang yang berbeda, Pak Nur mengambangkan spidol hitam diantara papan tulis dan kekecewaan. Sudut matanya melirik, menjamah satu persatu kepala yang akan menunduk sempurna saat punggungnya berbicara. Ia menghela nafas, entah jengah atau lelah. Diletakkan spidol hitam sia-sia itu kembali pada tempatnya.

Pak Nur tau, jenuh tengah menyelimuti kepala murid-muridnya. Pelajaran fisika dan matematika yang telah lalu jelas menghempas pikiran mereka jauh-jauh. Mata Pak Nur bergulir ke pintu kelas yang tertutup. Pikirannya merenung. Benarkah tangannya yang terus menghunuskan tinta spidol pada papan putih atau benarkah keputusannya untuk membiarkan pintu angkuh itu terbuka lebar?

Pak Nur terdiam, kembali memandangi satu persatu kepala murid-muridnya. Pada tantangan yang akan menampar mereka dua minggu lagi, mana keputusan yang hendaknya ia pilih?

Guru setengah rocker itu menipiskan senyumnya. Ia mengetuk papan putih kencang, mengejutkan sesiapa yang mulai terbuai dibalik mimpi. "Yuk bangun!" serunya, "Annas, Okta, Alan, Vivian, ayo bangun-bangun!" ujarnya sembari mengetuk-ngetuk meja dengan buku-buku jari.

Semua siswa tersentak, buru-buru duduk menegak dan lantas berpura-pura sibuk membaca apa saja diatas meja demi menghindari pertemuan mata. Pak Nur tersenyum, "Sama, saya juga bosan." Ucapnya mencairkan keheningan.

"Hm, daripada tiga puluh menit kedepan kita habiskan dengan menjawab satu persatu pertanyaan dibuku latihan soal, gimana kalau kita menjawab hal-hal menarik diluar buku itu?" tanya Pak Nur, "Bagaimana kalau kita menghabiskan waktu dengan menjawab pertanyaan ringan yang pasti sering kali kalian dengar tapi selalu ragu apa jawabannya. Ada yang bisa nebak apa pertanyaannya?"

Seisi kelas serempak menggelengkan kepala.

Senyum Pak Nur semakin mengembang. Ia melangkah menjelajahi lorong kelas, "Sesederhana apa sih bahagia itu?"

Mendengar pertanyaan itu, kelas mendadak hening. Decit kipas angin disudut-sudut ruang pun turut bungkam, seolah membiarkan seluruh penjuru kelas khusyu' memikirkan jawaban.

Sekian detik berlalu, Pak nur menepuk tangan keras menyudahi bisu, "Untuk menemukan jawabannya, ayo kita ke lapangan! Ayo kita dekati muasal bahagia." Serunya memecut wajah-wajah lesu agar kembali bersemangat, "LETS GO!"

Dari tempat duduknya, Kinan menghela nafas lelah. Ia sebenarnya menyukai ide Pak Nur, lagipula ia juga sudah terlampau jenuh membiarkan matanya berulang menatap papan dan buku catatan. Namun, entah mengapa malas mencengkram kakinya kuat-kuat hingga ia terlalu payah untuk melangkah.

"Ayo, Nan!" ajak Gavinda girang. Entah bagaimana wajah kantuknya mendadak hilang sempurna.

Kinan mendengus, "Mager, Vin!" keluhnya.

"Apanya sih mager? Kamu nggak sumpek duduk ngelihatin tulisan mulu." Ujar Gavinda tak habis pikir.

"Diluar panas tau!"

"Emang disini nggak panas?" tanyanya sembari menarik lengan Kinan, "Ayo buru!"

Dengan sedikit berat hati, Kinan akhirnya rela mengangkat tubuhnya. Belum sempurna langkah pertamanya usai, matanya bertemu dengan Alan yang entah sejak kapan berdiri didekat bangkunya. Tiba-tiba, dari balik saku celana, Lelaki itu mengulurkan karet gelang bekas nasi goreng (lain) kearahnya.

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang