BAB 9: MUSIKALISASI PUISI

38 5 4
                                    

Kinan berdiri lantang ditengah ruang, wajah sayunya berkobar memaparkan bait-bait puisi balada. Dibelakangnya, Alan nampak rileks mengikuti irama permainan. Jemarinya terus gemulai menari diantara nada-nada yang sudah matang dikepala empat hari belakangan.

"Ia telah membunuh bapaknya."

Mendengar penutupan yang menguras emosi itu, Pak Nur segera berdiri menyambut dengan tepuk tangan meriah. Sesumbar bangga terlukis jelas diraut wajahnya, ia tak salah memilih Kinan, ia tak salah memperjuangkan Alan. Sepasang perwakilan sekolah itu sudah lebih dari siap untuk mengguncangkan panggung Provinsi pekan depan.

"Luar biasa!" Pak Nur menepuk bahu Alan, "Emosimu juara, Lan. Kamu bisa ngimbangin intonasi, mimik, dan penghayatan Kinan. Luar biasa. Saya bangga, kamu sudah berani memilih untuk tidak kehilangan diri sendiri."

Alan mengusap tengkuknya, "Masih belum sebagus itu, Pak."

Kinan mengulurkan sebotol minuman berasa kearahnya, "Udah bagus, kok." Pujinya. "Ada komentar detail lain, pak?"

Pak Nur menghela nafas, mencoba menimbang-nimbang penilaian dikepalanya, "Menurut saya dibagian awal, dipembukaan. Setelah gitar dan hentakan kakimu selesai, jangan langsung 'Dengan kuku-kuku besi, kuda menebah perut bumi'. Kasih jeda dulu, bikin agak dramatis. Kayak yang bagian, 'Bulan berkhianat'. Itu cocok banget, kamu ambil satu hentakan terus menuding bulan. Itu keren." Komentarnya, "Lalu, Kinan artikulasinya diperjelas lagi ya, tadi agak belibet dibagian 'Segenap warga desa mengepung hutan itu'. Temponya dipercepat, tuwagapat tek tuwagapat tek. Buat Alan, perpindahan kuncinya dibuat kasar nggak masalah. Asal nggak berlebihan. Hm, sama mungkin besok kita lebih memperdalam bagian Joko Pandan datang. Biar agak smooth. Itu aja sih menurut saya."

Kinan manggut-manggut, "Siap, Pak."

"Ngomong-ngomong, Kalian tau nggak kenapa saya selalu semangat kalau disuruh mempersiapkan lomba musikalisasi puisi?" tanya Pak Nur.

"Karena Pak Nur guru bahasa Indonesia sekaligus hobi main musik." Tebak Kinan asal.

"Itu Cuma cover." Tanggapnya, "Kalau menurutmu, Lan?"

Alan hanya menggeleng, tak tertarik menjawab.

"Karena menurut saya," ia menjeda, menatap satu persatu mata anak didiknya, "Musik adalah tempat sebaik-baiknya melarikan diri, dan puisi adalah jeda sehangat-hangatnya istirahat. Dengan kata lain, musikalisasi puisi adalah kebebasan. Sebuah kehormatan bagi manusia untuk mengajarkan kebebasan menjadi manusia kepada manusia lain."

"Khususnya kepada manusia-manusia yang terburu dan lupa waktu." Tambah Kinan.

Pak Nur mengangguk membenarkan. Ruangan kembali lenggang, tidak ada suara yang tersisa dari percakapan. Mereka seolah sedang merenung tentang sesuatu hal yang selama ini selalu diabaikan. Tiba-tiba, dari sela-sela keheningan, Alan membuka kata, "Nanti malam saya rekamkan hasil perpindahannya, Pak."

Mendengar itu, seluruh mata mendadak terpaku sejurus menatap Alan. Seseorang yang awalnya terlihat terpaksa duduk mengiringi puisi, baru-baru ini berubah menjadi partner ambisius yang siap melahap piala setiap kategori.

"Iya, Lan! Iya, kirim saja. Saya tunggu." Jawab Pak Nur penuh semangat.

Alan mengangguk. Ia segera beranjak berdiri dan menggendong gitarnya, "Kalau gitu saya pulang dulu, Pak." Pamitnya.

"Oke, sampai ketemu besok."

Melihat Alan yang bersiap melenggang keluar. Kinan buru-buru mengemasi barang-barangnya, "Saya juga pulang dulu ya , Pak." Pamitnya.

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang