BAB 3: KONJUNGSI KOORDINATIF

45 6 7
                                    

Dipangkuan sofa cokelat tua yang sudah sangat renta, Pak Nur merebahkan tubuhnya. Kacamata bingkai hitamnya melorot jatuh hampir kepuncak hidung demi menamatkan buku yang tengah dibuka. Ini buku bukan sembarang buku. Ini adalah buku sakral milik guru setengah malaikat yang keberadaannya sering tidak diperhitungkan bahkan acap kali dicaci siswa, guru BK.

Buku Catatan Siswa.

...................................................................................(19)

Informasi Siswa

Nama : Manggaleo Adji Utomo

Tempat, tanggal lahir : Malang, 17 Juli 2000

Mata Pak Nur kembali bergulir menjelajah seluruh informasi diatas kertas. "Ayah, kuli bangunan. Ibu, ibu rumah tangga. Jumlah saudara, dua." Bacanya lirih, "Data konseling satu, ibunya pergi dari rumah bersama anak pertamanya saat Leo berumur 14 tahun. Data konseling dua, ayahnya pemabuk dan abusive. Data konseling tiga, Leo terlibat kelompok preman lokal. Data konseling empat, menolak hadir. Data konseling lima, menolak hadir. Data konseling enam, menolak hadir."

Pak Nur terdiam sejenak, menatap foto 3x4 milik Leo yang tertempel disudut kiri kertas. Ia kembali membaca satu data yang paling membuatnya miris, "Cita-cita, apapun yang menghasilkan uang."

Benar, tujuh belas tahun adalah masa yang paling pilu. Masa dimana orang tua akan menudingkan tangan dan berkata, "Ini waktunya membalas budi."; Masa dimana orang sekitar akan tertawa dan bertanya "Jadi Cuma segini usahamu?"; Dan bahkan masa dimana diri sendiri menangis dan berteriak putus asa "Dasar tidak berguna!"

Tok! Tok! Tok!

Suara kepalan tangan yang beradu dengan kaca meja membuyarkan lamunan Pak Nur. Guru itu mengerjap sejenak dan tersenyum pada siapa yang datang.

"Satu ceret kopi dan empat gelas plastik." Ujar Kinan sambil meletakkan senampan pesanan Pak Nur diatas meja, "Kembali 76.000."

"Ambil aja. Buat beli ice cream adik-adikmu."

Kinan menggeleng, ia tau Pak Nur selama ini sengaja sering menyuruhnya untuk membeli hal-hal remeh dengan selembar uang merah demi memberinya sedikit uang –yang selama ini selalu ia tolak jika diberi Cuma-Cuma. "Kembalian bulpoint kemarin aja masih utuh, Pak. Bunda nggak ngebolehin adik-adik beli ice cream lagi."

"Ya sudah beli cilok."

Gadis itu terdiam sejenak, ia tau Pak Nur tidak akan menyerah sampai Kinan memutuskan untuk menerima uang kembalian, "Makasih Pak, nanti biar saya beli cilok seabang-abangnya sekalian."

Pak Nur terkekeh mendengar jawaban Kinan.

"Kok tumben beli kopi banyak, Pak? Mau ada rapat? Asik, nggak ada bimbel lagi!"

"Ngimpi kamu." selorohnya, "Kalau males bimbel, bolos sana! Yang penting ikut absen."

"Bimbelnya Bu Cicip, Pak. Mana bisa."

Kinan tak sengaja melirik buku yang masih terus terbuka dipangkuan Pak Nur. Matanya menyipit membaca nama diatasnya. "Alan sudah tiga hari nggak masuk, Pak." Ujarnya tiba-tiba, "Saya nggak punya nomornya, dia juga belum masuk grup kelas."

Pak Nur mengangguk tipis paham arah bicara Kinan, ia segera menutup buku catatan siswa itu dan kembali tersenyum menenangkan, "Alan masih istirahat." jawabnya.

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang