BAB 6: KONOTASI

29 7 0
                                    

Diantara sinar senja yang terik, Kinan menepikan langkah. Gadis itu berbelok kelorong kosong, tempat Laboratorium bahasa bersembunyi. Dari seluruh ruangan sekolah, laboratorium sederhana ini adalah tempat favoritnya. Tempat dimana ia mampu mengekspresikan dirinya menjadi sesuatu yang lain, yang lebih luar biasa dari 'Kinan' tentunya. Tepat dihadapan pintu kayu, ia menjeda langkah kala matanya tak sengaja menatap sepasang sepatu hitam yang tergeletak begitu saja.

Gadis itu menghela nafas, mudah ditebak siapa pelakunya. Dengan sedikit kesal, ia melemparkan sepasang sepatu naas itu ke rak paling atas. Harus sebesar apalagi ia memajang papan himbauan 'HARAP MELETAKKAN SEPATU PADA TEMPATNYA' agar orang-orang yang miskin keperdulian itu bisa sadar?

Dengan seribu satu cerca yang siap dilontarkan, Kinan menghentakkan pintu lab. Namun sayang, belum sempat bibirnya terbuka, udara panas dari dalam ruangan menamparnya mentah-mentah.

"AC nya mati, Lan?" tanyanya heran pada seorang lelaki yang sibuk menggelitiki senar gitar diujung ruang. Lelaki itu mengangguk cepat, seolah bukan masalah besar. Kinan menghela nafas tak habis pikir, bagaimana bisa ia betah berlatih diruang sepanas ini? Apa jangan-jangan ia sedang simulasi hidup di neraka?

Gadis itu segera menganjal pintu dengan sembarang pot yang tergeletak disepanjang lorong, "Pak Nur belum datang?" tanya Kinan lagi-lagi.

"Masih ada tamu, disuruh latihan sendiri dulu."

Ruangan kembali lenggang. Tak ada sepatah katapun yang tercipta dari dua belia yang kini tengah sibuk dengan latihannya masing-masing. Perlombaan sebentar lagi, mereka tak lagi punya waktu untuk sekadar basa-basi.

Peluh di kening Kinan menetes lirih. Udara panas ruang yang dicampur emosi penjiwaan puisi membakar tubuhnya matang-matang. Gadis itu akhirnya mengalah pada bara udara. Jemarinya ganas meremas kertas naskah dan mengipas ceruk lehernya berulang.

Alan menjeda dentingan gitar, matanya menamatkan peluh yang terus tertawa dikening Kinan. Ia melepas karet gelang yang tersemat dipergelangan tangannya, "Nih."

Kinan menoleh agak terkejut menatap apa yang tengah dijulurkan Alan untuknya. Matanya mematung, enggan menerima namun terlalu kelu untuk menjabarkan penolakan.

Alan melempar karet gelang itu kepangkuan Kinan, "Masih bersih kok, cuma dipakai bungkus nasi goreng di kantin."

Gadis itu terdiam sejenak, membiarkan karet gelang dipangkuan dan bayangan gelungan tinggi rambut menghajar ketakutannya. Sudut mata Kinan melirik selidik kearah pintu, sesore ini sekolah jelas sudah sepi, tak akan ada lagi orang yang menatap ngeri kearahnya. Iya, tak akan ada, kecuali...

Alan.

Tapi masa bodoh, cepat atau lambat, Alan pasti akan bertanya padanya. Untuk apa ia berusaha menunda waktu, sedang luka selalu datang tanpa ragu. Pelan namun pasti, Kinan menggelung rambutnya tinggi. Angin sejuk bertiup lembut diceruk lehernya. Gadis itu lega, tapi juga belum.

Alan menatap gelungan rambut Kinan sekilas. Gadis itu, akhirnya mampu menaklukkan diri sendiri –pikirnya.

Kinan yang tak sengaja memergoki tatapan Alan pun, sedikit merasa dicampakkan. Kenapa Alan tidak bertanya? Bukankah seharusnya ia seperti kebayakan orang, yang bergidik ngeri kala tak sengaja menatap luka sayatan melingkar dilehernya, dan tanpa basa-basi bertanya, 'Ih, itu kenapa, Nan?'

"Kamu kok gak nanya?" tanya Kinan setelah sekian lama berperang dengan pikirannya sendiri.

"Tanya apa?" ulang Alan terheran.

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang