"Gue udah mati?" tanya Dilla pada Dimas.
Mereka masih di perjalanan menuju ke tempat yang biasa di sebut tempat teraman bagi para Trivers.
Dimas terkekeh mendengar pertanyaan dari mantan rekannya itu, lalu ia menggeleng, "Belum."
Dilla ber-oh ria, ia ingat saat ia kembali dari Trivanium ke Bumi, orang-orang di Bumi bisa saja berpikir bahwa Dilla melamun, padahal sebenarnya tidak.
Saat Dilla sadar dari lamunannya, ia merasa ada sebuah peluru yang mengjantam punggungnya, lalu diikuti oleh peluru-peluru berikutnya. Dan pisau tajam yang menusuk bagian belakang tubuhnya itu, adalah pisau khusus yang hanya di miliki oleh beberapa instansi rahasia. Bukan sembarang organisasi yang memiliki pisau tersebut.
Lalu Dilla mencoba melihat belakang punggungnya, tidak terasa sakit.
"Menurut lo, siapa yang ngelakuin hal itu ke diri lo?"
Pertanyaan Dimas membuat Dilla berpikir.
"Tadi, gue ngelihat Dita di Rumah Sakit, gue ngejar dia buat mastiin apa yang gue lihat. Terus dia tiba-tiba ngilang dan gue seketika ada di Trivanium." jelas Dilla.
"Jadi lo gak tau siapa?" tanya Dimas lagi.
Dilla menggeleng, tak mau memperpanjang permasalahan.
Lalu keduanya berjalan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Dilla masih tak habis pikir bahwa semuanya terjadi begitu cepat, menurutnya. Ia sama sekali tak bisa bernafas dengan lega, entah semenjak kapan.
Sebentar dia berada di tempat dimana seharusnya ia berada, tiba-tiba ia menginjak tanah Trivanium yang katanya tempat dimana manusia tidak bisa menginjakan kakinya di sana.
Dilla merasa ia harus membagi dua tubuhnya atau jika bisa ia ingin raga dan jiwanya mempunyai duplikat.
Dilla bukan tak punya tugas di Bumi, keahliannya sangat di butuhkan bagi rekan-rekannya. Namun, Dilla juga punya hati, ia sudah melihat dengan matanya bagaimana kejamnya Worstag, sakitnya rakyat kecil, dan secuil harapan. Dilla sudah melihat itu.
Dan sekecil harapan itu di tujukan untuknya, itu yang membuat Dilla tidak bisa untuk tidak mengambil peran di sini. Ia harus, bagaimana pun caranya.
Tapi, di Bumi juga ada yang membutuhkan kehadirannya, Dilla tau bahwa Marvin pasti merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi pada dirinya. Walaupun Marvin sendiri tau, ia tak melakukan hal tersebut. Namun ia tetap merasa bersalah. Dilla tau betul bagaimana Marvin.
"Lo sayang sama Marvin?" tanya Dimas tiba-tiba.
Dilla terdiam tak menjawab pertanyaan Dimas, ia sendiri belum yakin dengan perasaannya. Terlalu dini untuk mengucapkan kata sayang pada lawan jenis.
Namun tak bisa Dilla pungkiri bahwa kehadiran Marvin membuatnya senang, di saat mood Dilla sedang tidak baik, jika Marvin mengirim pesan atau meneleponnya, maka mood Dilla berangsur-angsur menjadi baik. Di saat Dilla kelelahan karena pekerjaan mematikannya, maka jika mendengar suara Marvin ia merasa beban yang di pikulnya seolah tertiup angin dan pergi menjauh.
Itu yang Dilla rasakan jika Marvin ada untuknya.
"Jadi gimana dengan Alfa?" tanya Dimas lagi.
Alfa. Nama itu belakangan ini mengganggu di benak Dilla. Pertemuan mereka dari sekian tahun lamanya membuat Dilla sangat tidak menerima kenyataan. Bertemu dengan cara seperti itu bukanlah pertemuan yang bisa di sebut layak. Dan, apa alasan di balik semua ini?
"Dan, gue?"
"Kenapa dengan lo?" tanya Dilla heran, terlihat dari kerutan di dahi yang di buatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Of The Stars
FantasyOpen your eyes, then see, you know the way our horizons meet?