19

223 19 2
                                    

Dilla mengaktifkan mesin komunikasi yang di pakainya, sambil melihat kesekelilingnya secara perlahan. Wajah letihnya tak membuat ia mundur dari apa yang sudah menjadi tugasnya.

Kau tertidur?”

“Tidak.” Jawab Dilla cepat, “Ada apa?”

Dari seberang sana terdengar helaan nafas, “Tukar shift.

Dilla memejamkan matanya sejenak, ia baru ingat bahwa ia tak bisa melaksanakan tugasnya dua puluh empat jam.

“Lo masuk, Lex.” Ucap Dilla sambil mendekatkan jam tangan yang di pakainya ke bibirnya, seolah berbicara pada jam tangan itu. “Aku duluan, Mr. Han.”

***

Dilla memasuki perkarangan rumahnya dengan hati-hati, berharap tak ada mobil Marvin, maupun Alfa atau kedua rekan kerjanya yang lain.

Setelah di parkirnya mobilnya, Dilla masuk lewat pintu belakang hanya untuk berjaga-jaga saja. Siapa tau di ruang tengah ataupun ruang tamu ada seseorang yang seharusnya tak mengetahui keberadaan Dilla.

Dilla berhenti sejenak untuk mengambil minum, tenggorokannya terasa kering dan ia pastinya merasa haus.

“Lo di sini ternyata.” Suara tak asing itu membuat Dilla membelalakan matanya, untungnya posisi Dilla sedang membelakangi orang itu, “Lo darimana?”

Dilla tetap diam, tak berkutik, ia sedang memikirkan jawaban apa yang harus ia keluarkan.

“Gue udah nunggu lo di ruang tamu dari tadi.”

Mendengar itu Dilla menghela nafas dengan berat, lalu ia membalikan badannya, ia sudah siap apapun yang akan terjadi nanti, “Gue baru mau nyamperin lo abis minum.”

Orang itu mengangguk mengerti, lalu matanya menyipit menatap Dilla, seolah ada yang aneh, “Parfum lo gak asing.”

“Gue gak pake parfum apapun.” Balas Dilla ngeles.

Orang itu, Marvin, tak memperpanjang masalah, ia hanya mengangguk, “Mungkin efek rindu sama Dilla.”

Mendengar itu Dilla berusaha menyembunyikan rasa kagetnya, sedangkan Marvin hanya terkekeh melihatnya.

Lalu setelah sadar, Dilla tersenyum tipis, lalu langsung berjalan meninggalkan Marvin.

“Tunggu.” Cegah Marvin dengan suara berat.

Dilla membalikan badannya, jarak mereka belum terlalu jauh, “Ada apa?”

Marvin berjalan selangkah lebih dekat dengan tatapan yang tak bisa di artikan, “Sejak kapan senyum lo persis sama kayak Dilla?”

Bukan cukup kaget lagi, tapi kali ini Dilla sangat kaget, dan dia berusaha tidak membongkar topengnya untuk sekarang, “Kayaknya lo beneran rindu Dilla, gue mau ke atas dulu ganti baju gue, setidaknya wangi gue gak ngingetin lo sama Dilla.”

Setelah itu, Dilla membalikkan badannya lagi, hendak meninggalkan Marvin namun dengan cepat Marvin membawanya ke pelukan cowok itu. Tubuh Dilla berkontraksi saat berada di dalam pelukan Marvin.

“Gue mohon.” Mendengar ucapan Marvin membuat Dilla bingung, “Gue mohon jangan ganti baju lo.”

Dilla tak bisa berbuat apa-apa, bukan tak bisa, ia hanya tak tau.

“Gue kangen sama Dilla, jadi gue mohon, sekali aja.”

“…”

Marvin masih tak melepaskan pelukannya, “Gue gak tau kenapa, tapi ada yang ganjal di hati gue. Tentang Dilla.”

All Of The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang