PROLOG

70.7K 10.4K 1.6K
                                    

(Revisi setelah end)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Revisi setelah end)

Januari, 2013

"Di mana bocah tengik itu?" tanya seorang dengan tubuh yang lebih kekar di antara mereka berlima. "Kalian cari ke sana!" titahnya.

Dia adalah pimpinan dari geng motor berandal ini. Motor-motor mereka diparkir sembarang di pinggir Jalan Sukmawati. Kemudian, lari berpencar menyusuri lorong-lorong kecil di antara toko-toko.

Sementara seorang pemuda berseragam SMA yang merupakan target mereka, cukup gesit berlari pada gang-gang sempit yang dilewatinya. Setelah kurang lebih setengah jam kejar-kejaran di atas aspal, kini saatnya menguji otot-otot kaki. Ini sudah kali ketiga ia dikejar-kejar oleh berandalan itu setelah ayahnya meninggal.

"Hei ... awas lu, ya!" teriak seorang di antara mereka dengan tangan mengacung di udara.

Pemuda yang dikejar makin mempercepat larinya. Hingga sampailah ia pada gang buntu. Di hadapannya tembok tinggi menjulang. Mustahil bisa dipanjatnya dengan tangan kosong.

"Mau ke mana lagi?" tanya pria berkepala plontos dengan napas ngos-ngosan. "Hei ... dia di sini!" teriaknya memanggil kawan-kawannya yang terpencar.

Untung pemuda berambut ikal itu tidak kehabisan ide. Dia harus bisa lolos sebelum empat kawan musuhnya itu datang ke sini. Pasti akan sangat sulit melawan lima orang bersenjata dan dia sendiri dengan tangan kosong. Juara karate PorDa satu ini masih sangat menyayangkan jika wajahnya dilukai oleh pisau-pisau lawan.

Pemuda itu menarik napas dan memasang ancang-ancang. "Sini, kita duel," ucapnya tenang. Posisi tangannya terkepal ke depan.

Pria plontos itu merasa diremehkan. Dia juga mengambil ancang-ancang dan bergerak maju perlahan. Dia juga tahu, anak muda di depannya bukan anak SMA sembarangan.

Buuuukkkk!! Dengan gerak cepat satu pukulan melesat di pelipis pria plontos itu. Ketika pria itu sedikit merintih sakit, secepat kilat pemuda SMA mengambil kesempatan yang hanya hitungan detik itu. Buuuukkkk!! Satu tendangan meluncur ke dada lawan yang masih kesakitan. Peluang untuk kabur akhirnya terbuka. Dilanjutkannya lari ke arah yang berlawanan.

"Wajah seram, tubuh kekar, dua kali pukul langsung tepar, hahaha." Sambil berlari pemuda itu cekikikan sendiri. Seragam SMA-nya telah basah oleh keringat, penampilannya pun sangat acak-acakan. Ditambah lagi rambut ikal yang sudah sedikit gondrong.

"Sepertinya harus sembunyi. Napas gue bisa habis kalau lari-lari gini terus," pikirnya sambil menengok kiri-kanan mencari tempat persembunyian.

Matanya tertuju pada papan paling mencolok di antara banyak toko yang berderet. Toko Busana Imelda. Dengan napas yang tinggal sisa-sisa, ia berlari menuju toko itu. Toko yang sepertinya mustahil didatangi oleh para berandalan yang mengejarnya.

Priittt ...! Priittt ...!!

"Dek ... Dek, mau ke mana?" Seorang satpam tiba-tiba menahan sebelum ia memasuki toko.

"Mau ke dalam lah, masa ke surga," jawabnya santai.

"Iya tahu, ngapain kamu ke dalam?" Satpam itu diam sejenak. Kemudian menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Adegan itu dilakukan dua kali tanpa jeda. "Kamu mau mencuri, ya?"

"Sialan! Ganteng-ganteng gini dituduh pencuri. Hey, Pak, jangan asal banting lidah kalau belum ada bukti." Usai berkata begitu, ia lantas menerobos masuk ke dalam toko. Di seberang jalan terlihat berandal-berandal itu mondar-mandir mencarinya.

"Hei!" teriak si satpam, lantas juga berlari memasuki toko guna mengejar pemuda itu.

Karena penampilan yang acak-acakan, mendadak pemuda itu jadi sorotan utama para pelanggan toko. Si satpam tidak tinggal diam. Dia tidak mau pelanggan toko terganggu karena kehadiran anak tidak tahu malu itu.

"Ngapain kamu di situ? Itu 'kan baju cewek. Kamu betul-betul mencurigakan. Sana, keluar!" hardiknya.

"Gue cari baju untuk kado ultah ibu gue." Dengan santai pemuda yang ditegur justru melanjutkan aktivitasnya, membuka-buka tumpukan pakaian yang dipajang. Seolah ia adalah pelanggan yang akan membeli.

"Udah, nggak usah bohong. Sana, keluar!" Hardikan si satpam semakin keras.

"Ada apa ini ribut-ribut?" Seorang ibu berusia sekitar empat puluh tahunan berdiri tepat di belakang si satpam. Spontan satpam itu kaget dan bergerak mundur. Wajah ibu itu terlihat modis. Tangan kanannya menenteng tas yang bisa ditebak harganya pasti selangit.

"E ... ee ini, Bu. Anak ini menerobos masuk," jawab si satpam kaku.

"Betul begitu, Nak?" Si ibu bertanya kepada pemuda itu, lalu tersenyum.

"Iya Bu, betul. Tapi saya tidak ada niatan sama sekali untuk mencuri."

"Oh, kalau begitu maafkan kesalahpahaman ini, ya!" Dengan lembut ibu itu mengusap-ngusap kepala anak berseragam di hadapannya. "Siapa nama kamu, Nak?"

Dengan sedikit membungkuk sang pemuda mengulurkan tangan. "Nama saya Elang."

***

JANGAN LUPA VOTE DAN COMENTNYA!ITU SANGAT BERARTI BAGI AUTHOR

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JANGAN LUPA VOTE DAN COMENTNYA!
ITU SANGAT BERARTI BAGI AUTHOR.
TETAP NANTIKAN PART BERIKUTNYA!
AKAN PUBLISH SEGERA.

❤❤❤

O ANTAGONISTÌS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang