(Revisi setelah end)
"Eh, Ira. Kak Janu ngajak aku makan malam di rumahnya," ucap Aruna sambil menikmati bakso yang sudah dipesannya.
"Bagus, dong. Itu tandanya dia serius. Padahal sebenarnya dari dulu aku berharap diundang gitu kayak kamu. Tapi aku sadar, sepertinya Janu menjatuhkan pilihannya ke kamu." Ira juga sambil menikmati cendol miliknya. Dia memandang Aruna penuh takjub.
"Kok kamu malah seneng, sih? Aku bukannya nggak mau, Ra. Hmm ... kamu pasti paham 'kan maksud aku?" Terlihat kegelisahan di mata Aruna.
"Ooh ... aku paham. Karena Elang, 'kan? Hehe, itu sih aku paham."
Aruna tersedak dan cepat-cepat minum setelah mendengar nama Elang disebut oleh Ira. "Iraaa ... bukan ituuu ...."
"Lalu apa? Anggapan aku sekarang, kamu itu sedang dilema menentukan pilihan karena dikejar-kejar alias diperebutkan dua cowok ganteng, 'kan?" seru Ira dengan polosnya.
"Iraaa ... jangan samakan aku dengan wanita-wanita lain yang urusannya hanya cowok, cowok, dan cowok."
"Oh, oke-oke. Berarti bukan cowok, tapi calon suami 'kan?" jawab Ira, tampak begitu yakin dengan tebakannya.
Aruna hanya bisa menepuk jidatnya pelan. Entah penjelasan sepeti apa lagi agar sahabat satu-satunya ini paham dengan apa yang dia maksud.
Aruna berhenti makan sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Dengar penjelasan aku ya, Ira yang cantik jelita." Ira mengangguk.
"Aku bukannya nggak mau kenalan dengan keluarga Kak Janu. Aku hanya takut aja seakan memberi harapan kepada dia kalau aku juga suka, karena menanggapi ajakan bertemu keluarganya. Bagus kalau orang tuanya merespon baik. Kalau nggak. Gimana?" Ira lagi-lagi hanya angguk-angguk, memberi tanda mulai paham.
"Apalagi kita 'kan beda agama, Ra. Aku sih nggak apa-apa dan nggak kenapa-kenapa jika hanya berkenalan dan menjalin hubungan baik dengan keluarga Kak Janu. Tapi selama tidak ada perasaan untuk saling mengikat. Sekali lagi kita berbeda, Ra." Berbeda dengan sebelumnya, kini kening Ira berkerut. Dia tidak paham sama sekali dengan ucapan Aruna yang terakhir.
"Intinya .... Ya begitulah." Aruna melanjutkan makannya. Tidak peduli Ira paham atau tidak. Yang penting dia sudah mengeluarkan unek-uneknya.
***
Aruna bercermin untuk kedua kalinya. Memastikan lagi pakaian yang ia kenakan sopan dan pantas untuk menghadiri undangan makan malam dengan keluarga Janu. Jawaban persetujuan mengiyakan tawaran Janu kemarin dibalasnya melalui pesan WA pagi tadi. Tentunya dengan pertimbangan yang menurutnya sudah sangat matang.
Sebenarnya Janu juga memberikan tawaran berikutnya berupa jemputan, tetapi Aruna menolak. Alasannya dia bisa berangkat dengan Ira. Aruna mengiyakan undangan itu dengan syarat dia harus datang bersama Ira. Gadis itu merasa pasti dia akan sangat canggung jika hanya datang ke sana sendirian.
Baru saja Aruna merapikan jilbabnya lagi, terdengar bunyi klakson beruntun di depan kos. Bisa dipastikan itu adalah Ira dengan motor matic-nya. Aruna pun keluar dari kos dengan tas biru muda ukuran mini yang diselempangkan ke samping.
"Subhanallah, ternyata bidadari juga ngekos ya," puji Ira yang dianggap sindiran oleh Aruna.
Aruna segera mendaratkan cubitan ke pundak kanan sahabatnya itu. Ira malam ini juga tampil cantik, mengetakan sweter putih dengan warna jilbab dan rok yang hampir seirama, abu-abu yang lebih menjurus ke hitam.
"Ustazah aku satu nih cantik badai. Mau ketemu calon mertua, ya?" canda Ira. Cubitan kedua mendarat lagi, tetapi kali ini lebih kencang dari sebelumnya.
"Awww. Sakit, Ustazah .... Ampun-ampun," rintih Ira. Kemudian setelah itu ia memperbaiki posisi duduk dan mempersilakan Aruna untuk duduk di sadel belakang.
Mereka siap meluncur ke rumah Janu yang lokasinya sudah dikirim ke WA Ira. Jarak dari kos ke rumah Janu cukup jauh. Apalagi malam sabtu seperti ini. Jalan dipadati dengan kendaraan yang tak tahu berapa jumlahnya, saking banyaknya. Mereka terjebak macet. Tiap dua puluh menit mereka hanya bisa bergerak beberapa meter ke depan.
Malam semakin larut. Setengah dari perjalanan mereka belum juga ditempuh. Baju gamis yang dikenakan Aruna mulai kusut. Pun Ira, dia juga sudah mulai lelah dengan antrian sepanjang ini. Wajah keduanya tersungut-sungut bosan. Debu jalanan, kepulan asap dari knalpot truk-truk dan kendaraan lain bercampur dengan bau sampah yang dibuang sembarang di pinggir-pinggir jalan.
"Trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki, kok justru jadi tempat sampah sih," ucap Aruna dengan nada ketus.
Ira diam saja. Dia fokus ke tali gas yang harus ditariknya setiap ada momen. "Aruna, gimana kalau kita pulang aja. Kayaknya kita udah telat, deh. Mana mau hujan lagi."
Aruna melihat jam di pergelangan tangannya. Pukul 20.35. Sudah satu jam lebih mereka terjebak di sini. "Hmm ... apa nggak apa-apa, ya? Aku takut Kak Janu kecewa karena kita batalin janji dadakan begini. Pasti dia dan keluarganya udah menunggu."
"Kak Janu pasti mengerti, kok. Coba telepon dia. Ceritakan keadaan kita sekarang gimana," usul Ira. "Dia pasti mengerti. Keluarganya juga. Mereka itu orang terpelajar. Pasti akan menerima alasan kita dengan kepala dingin," lanjutnya.
"Ya udah, semoga aja. Kita coba." Aruna meraih handphone di saku tas.
Belum juga dia memegang benda itu, ternyata langit lebih dulu menurunkan air matanya. Hujan turun begitu deras. Para pengendara roda dua di sisi-sisi mereka banyak yang memaki, mencibir suasana ini, tetapi mereka berdua tidak peduli. Ira berusaha mengarahkan setir motornya ke sisi jalan. Mencari tempat untuk berteduh. Meskipun sebenar mereka sudah terlanjur basah.
Sebuah toko bangunan yang tidak terlalu ramai menjadi sasaran mereka untuk berteduh. Dengan susah payah Ira memarkir motor, lantas mereka langsung berlari ke sisi toko yang sedikit terlindungi dari percikan hujan.
"Eh, Kak Janu udah dikabari belum?" tanya Ira setelah mereka sudah bisa bernapas lega sebab terhindar dari hujan.
"Belum." Cepat-cepat Aruna meraih lagi handphone di saku tasnya. Mencari kontak Janu untuk dikabari.
Belum juga sempat menekan tombol panggil, Aruna melihat sosok yang sepertinya dia kenal di seberang jalan. Pemuda itu berjalan was-was melihat ke belakang sambil hujan-hujanan.
"Eh, Ira. Itu Elang bukan, sih?" tanya Aruna dengan telunjuk mengacung, mengarah ke seberang jalan.
***
BAGAIMANA KABAR KALIAN SEMUA WAHAI READERS YANG LUAR BIASA?
SEMOGA TETAP SEHAT SELALU YA.
PASTIKAN KALIAN TELAH MEMBERIKAN VOTE DAN COMMENT TERBAIK KALIAN.
SEKALI LAGI TERIMA KASIH UDAH NGEDUKUNG AUTHOR SAMPAI SEJAUH INI.
❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
O ANTAGONISTÌS (TERBIT)
Misterio / SuspensoDiterbitkan oleh Penerbit Grass Media (Tersedia di TBO & Gramedia) *** Elang, Emillio Elang Nugroho, mahasiswa semester sepuluh dengan segudang teka-tekinya. Sejak ayahnya meninggal ia selalu diteror oleh orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal...