(Revisi setelah end)
Ibu Imelda menaiki tangga melingkar menuju lantai dua. Di sana ruangan pribadi suaminya, Ferdinand Nicholas yang telah menikahinya 25 tahun silam. Ruangan yang terkunci rapat di pojok sana adalah tujuannya. Jika suaminya sedang berada di dalam ruangan itu, tidak ada yang boleh sama sekali mengganggu kecuali dirinya. Itu pun pada beberapa keadaan meski dia yang mengetuk tetap tidak dibuka juga. Apalagi jika keadaan perusahan sedang ada masalah, baik internal maupun eksternal.
"Ayah, Mey bawain kopi," ucap Imelda setelah mengetuk pintu beberapa kali dengan lembut.
Mey adalah panggilan kesayangan suaminya sejak mereka pacarana dulu. Tepatnya saat mereka kuliah. Panggilan Mey itu sendiri menurut Ferdinand adalah singkatan dari Melda sayang. Entah dari mana dapatnya, tetapi Imelda senang-senang saja dipanggil dengan sebutan itu.
"Masuk aja! Nggak dikunci," jawab suara berat dari dalam. Pelan-pelan Imelda membuka pintu dan masuk ke ruangan ber-AC yang disetel cukup dingin. Ia sedikit menggigil karena itu.
"Kalau capek istrahat dulu, Ayah. Jangan dipaksain," ucapnya kepada laki-laki berkemeja kotak-kotak yang sedang memunggunginya menghadap layar komputer. Sekarang Imelda duduk di sofa yang tidak jauh dari pintu.
Ferdinand tidak menggubris. Imelda paham betul karakter suaminya jika sedang serius, sehingga ia tidak mempermasalahkan itu. "Mey tunggu Ayah sampai selesai kerja di sini, ya." Ia mengambil satu majalah yang tersusun di rak dekat sofa. Lagi-lagi tidak ada jawaban dari suaminya.
Setelah hampir dua puluh menit mereka saling diam dengan aktivitas masing-masing, Ferdinad dengan komputernya dan Imelda dengan majalahnya, akhirnya Ferdinand datang dan duduk di samping Imelda. Tentunya setelah ia pastikan telah menyimpan file yang akan dipaparkan besok pada rapat kerja, dan komputer dimatikan.
"Makasih ya, Mey." Ferdinand menyeruput kopi buatan istrinya yang sudah mulai dingin.
Imelda segera menutup majalah tidak lama setelah suaminya duduk di sampingnya. "Iya, Ayah. Sama-sama."
Ferdinand kembali diam, jika dalam keadaan seperti itu Imelda bisa pastikan kalau suamnya sedang berpikir. Ia sudah paham betul tabiat suaminya satu ini. "Ayah, otaknya diistirahatkan dulu. Mey takut Ayah kecapekkan," ucapnya lembut.
Meskipun Ferdinand adalah tipe yang jarang bicara dan tidak romantis sama sekali, tetapi Imelda selama ini selalu merasa nyaman dan aman jika di dekatnya. Padahal sering sekali ia saksikan di depan mata, bagaimana suaminya membentak bawahan dan anak buahnya dengan nada kasar penuh cacian. Ia bersyukur jika bersamanya kalimat-kalimat itu tidak pernah terlontarkan.
Ferdinand menatap istrinya penuh hangat. Tidak ada kalimat terucap. Hanya keteduhan pada masing-masing mereka.
"Oh iya, Yah. Mey mau cerita." Lagi-lagi balasannya hanya anggukan dan kening terangkat dari Ferdinand. "Jadi gini, beberapa tahun lalu Mey ketemu seorang anak SMA yang sopaaaaan banget," ucap Imelda dengan memanjang-manjangkan dan menekan pada kata sopan.
Ferdinand mengangguk. Urat-urat pada dahinya sedikit timbul. Imelda yakin kalau suaminya meski diam, jika sudah seperti itu berarti sedang mencerna apa yang baru saja ia ceritakan.
"Waktu itu dia dikejar-kejar preman. Dan bersembunyi di toko busana Mey. Sempat sih dicegat oleh satpam di situ, tetapi waktu itu kebetulan Mey lewat. Berkenalanlah Mey dengan anak itu. Mey tertarik karena sopan santunnya. Lama Mey ajak dia ngobrol di ruangan Mey. Soalnya penasaran aja kenapa dia bisa dikejar-kejar. Eh cek per-cek ternyata dia memang suka diteror oleh preman-preman yang sama. Dan bukan hanya sekali dua kali, tetapi sudah terlalu sering. Katanya sih sejak ayahnya meninggal." Imelda menghentikan ceritanya, melihat raut wajah Ferdinand sedikit berubah. Ada kerutan di dahinya. Kedua alisnya yang tebal hampir bertemu. "Ayah kenapa?" tanyanya.
"Next," jawab Ferdinand singkat, padat, jelas.
"Oke. Mey lanjutkan. Awalnya Mey kira Elang itu anak orang kaya. Oh iya, lupa. Nama anak itu Elang. Ternyata dia dan bapaknya adalah orang susah. Terus Mey tanya, terus dia diteror itu tujuan mereka apa? Dia jawab, katanya kalau misal dia nggak lari, pasti dia digebukin sampai babak belur. Jika sudah seperti itu dia bakal ditinggal begitu saja. Aneh 'kan, Yah? Masa motifnya hanya seperti itu. Pasti ada tujuan lain dari teror yang dialami oleh Elang. Jujur jiwa selidik Mey meronta," jelas Imelda panjang lebar.
Melihat kasus Elang, Imelda mengenang bagaimana dia dan rekan-rekannya saat muda dulu menyelesaikan kasus yang hampir serupa. Imelda adalah seorang magister ilmu hukum keluaran Harvard University. Hanya saja setelah menikah, Ferdinand tidak mengijinkan istrinya untuk bekerja, apalagi di bawah naungan instansi pemerintahan. Agar istrinya tidak bosan di rumah, dibuatlah toko busana Imelda sebagai hiburan. Sampai sekarang masih dikelola oleh Imelda.
"Ngapain ngurus hidup orang. Jangan cari masalah dengan masuk ke dalam masalah orang lain," tanggap Ferdinand datar. "Fokus ke Janu anak kita. Berikan dia yang terbaik. Khususnya pendidikan. Biar dia tidak melarat seperti bapak si Elang-Elang itu," sambungnya masih dengan nada dan raut wajah yang datar.
"Cerita Mey belum selesai, Yah. Setelah pertemuan itu, Mey tidak pernah lagi bertemu dia. Hingga tadi sore dia datang ke sini mengantar pulang Janu yang babak belur. Kata Janu dia hampir dijambret dan Elang yang nolongin. Kebetulan mereka sekampus."
Ferdinand berdiri dan kembali lagi duduk di depan komputer. Kembali menekan tombol power, tidak merespon sama sekali kelanjutan cerita istrinya.
Imelda menatap bingung. "Apa ada yang salah?" pikirnya.
"Bilang pada Janu agar menjauh Elang yang kamu ceritakan itu, Mey," ucap Ferdinad setelah keheningan yang ada di antara mereka.
"Maksudnya, Yah?"
"Sudah! Ikuti saja arahan Ayah!" bentak Ferdinad, lalu disusul kalimat maaf karena merasa menyesal keceplosan dengan kata-katanya barusan.
Imelda merasa sakit hati. Bukan karena ceritanya yang ditanggapi datar, tetapi karena bentakan di penghujung percakapan mereka. Baru kali ini suaminya melakukan itu. Sedikit kecewa, suaminya lepas kendali padahal hanya sebuah masalah sepele. Dengan langkah sengaja dihentak-hentakan ke lantai, Imelda keluar dari ruangan yang sekarang ia anggap pengap itu.
***
AUTHOR TIDAK BOSAN-BOSAN MENGINGATKAN JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK DENGAN VOTE DAN COMMENT YA. DAN CEK LAGI, APA KALIAN TELAH MENG-FOLLOW AKUN INI ATAU BELUM. JIKA SUDAH, AUTHOR UCAPKAN SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA.😂😂😂
❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
O ANTAGONISTÌS (TERBIT)
Mystère / ThrillerDiterbitkan oleh Penerbit Grass Media (Tersedia di TBO & Gramedia) *** Elang, Emillio Elang Nugroho, mahasiswa semester sepuluh dengan segudang teka-tekinya. Sejak ayahnya meninggal ia selalu diteror oleh orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal...