(Revisi setelah end)
"Tuh 'kan, Ra. Bener kata aku. Masalahnya makin ruet kalau kita ajak Kak Janu ke dalam masalah aku sama Elang," ucap Aruna, lantas menyeruput jus jeruk yang baru dipesannya.
"Ya paling nggak kita udah usaha."
Berbeda dengan Aruna, Ira justru terlalu fokus ke novel barunya. Mereka berdua menghabiskan akhir pekan untuk berbelanja buku dan pakaian. Setelah itu keduanya berniat menghabiskan sore di sini, di kafe berlantai dua yang tidak terlalu ramai jika dilihat dari luar, tetapi setelah masuk ke dalam ternyata keadaanya sangat berbanding terbalik dengan apa yang mereka pikirkan. Lalu, apa mau di kata? Mereka sudah terlanjur masuk dan malas mencari tempat yang lain lagi.
Meja bundar dengan ukiran khas di sisi kanan lantai dua menjadi pilihan keduanya untuk melepas penat setelah seharian berkeliling. Dari situ mereka bisa melihat padatnya jalanan kota.
"Aku sebenarnya khawatir jika masalah itu mereka besar-besarkan. Apalagi bisa kutebak, jika Elang adalah tipe orang yang nggak mau berhenti jika sesuatu yang ditargetnya belum ia capai," lanjut Aruna di sela-sela kesunyian mereka.
"Aku juga bisa melihat itu. Kalau tentang Kak Janu menurut kamu gimana, Na?"
"Hmm, kalau boleh jujur sih, menurut aku dia sudah sangat berlebihan kemarin. Nggak seharusnya dia bertindak seperti itu. Kemarin aku enggan menolak ajakannya untuk pergi meninggalkan Elang hanya agar perseteruan di antara mereka nggak berlanjut."
"Mungkin dia hanya merasa bertanggung jawab dengan apa yang sudah diamanahi kepadanya sebelumnya kali. Begitu sih menurut aku."
"Tapi 'kan tetep aja keterlaluan. Aku bisa melihat rasa sakit hati Elang dari raut wajahnya," sesal Aruna.
"Kita berdoa aja semoga kejadian seperti itu tidak terulang lagi."
"Iya, aamiin. Semoga. Aku sih udah nggak ngarepin lagi diary aku kembali. Aku nggak mau nyakitin siapa-siapa," aku Aruna sekali lagi, lantas membuang pandangan keluar jendela.
Suasana semakin sore. Kafe dengan sentuhan modern ala anak muda ini membuat mereka betah berlama-lama di sini.
***
Di tempat yang lain pada waktu bersamaan, Janu dan Elang masih bersitegang. Janu yang sudah siap dengan tangan terkepal mendekati Elang yang berdiri tidak jauh dari tempatnya memarkir mobil.
"Gue ulangin sekali lagi, kembaliin diary Aruna!" ancam Janu sambil mencengkeram bagian kerah kaus yang dikenakan Elang.
Elang hanya diam dengan gigi yang digertakan sebab mulai emosi. Dari postur Janu yang lebih tinggi, dengan mudah menarik tubuh Elang lalu membantingnya ke atas tanah. Tidak lupa beberapa pukulan ia daratkan pada pelipis laki-laki itu yang masih belum tertarik membalas serangan.
Elang bangkit. Membersihkan hidungnya yang sekarang telah mengucur darah. Emosi masih bisa ia redam. Janu sekali lagi menyerang dengan sangat gencar. Elang hanya menangkis sebisanya, tetapi karena serangan Janu yang bertubi-tubi akhirnya beberapa pukulan ia loloskan juga.
"Gue bilangin ke lu. Silakan lu pulang dan lupain masalah diary Aruna, karena gue nggak mungkin ngasih cuma-cuma diary itu," ucap Elang sambil menjaga jarak dari Janu.
"Halaah ... omong kosong!" bentak Janu dan melanjutkan serangan.
"Oke kalau itu mau lu."
Elang mulai bergerak maju. Menghantam Janu yang sedikit lengah. Kedaan berbalik. Sekarang Elang yang agresif menyerang, tanpa ampun ia pukuli wajah Janu yang kini semakin tak berdaya. Tidak butuh waktu lama, Janu tumbang seketika. Dia mencoba bangkit tetapi terjatuh lagi.
Rasa iba pun terbesit di hati Elang. Melihat ke sekitar, hari menjelang magrib. Suasana kampus telah sunyi. Di parkiran hanya tinggal dua mobil dan satu sepeda motor. Melihat keadaan Janu yang seperti itu mustahil dia bisa menyetir sendiri. Perasaan bersalah mengegerogoti Elang.
Ia menjulurkan tangan. "Maaf, gue berlebihan balas mukulin lu. Padahal pukulan lu nggak seberapa." Dengan susah payah Janu meraih tangan Elang dan bangkit, tanpa berucap sepatah kata pun. "Sini kunci mobil lu. Gue yang nyetirin lu pulang."
Tanpa bicara Janu memberikan kunci mobilnya. Sambil membopong Janu, Elang berjalan menuju mobil yang harusnya telah keluar area kampus sejak tadi. Janu menyandarkan kepala di kursi penumpang. Sebagian wajahnya lebam karena aksi Elang. Janu yang tidak terbiasa berkelahi tentunya belum punya banyak pengalaman dibanding Elang yang sejak SMP telah terbiasa bertarung di kejuaraan-kejuaraan pencak silat yang diikutinya. Porsi latihan laki-laki itu bertambah sejak preman-preman itu mulai menerornya ketika dia SMA. Dari situ, terlihat jam terbang Elang lebih banyak dibandingkan Janu.
"Belok kiri apa kanan, nih?" tanya Elang setelah sejak tadi mereka berdua tenggelam dalam sunyi.
"Kanan. Setelah tugu kuda baru belok kiri."
Setelah menerima jawaban, Elang kembali fokus menyetir. Hingga tibalah mereka di sebuah bangunan dengan pagar menjulang. Pagar tinggi bercat putih itu pelan-pelan terbuka lebar. Dari dalam mobil Elang bisa melihat dua orang satpam yang sedikit menunduk, memberikan hormat di sisi pintu gerbang.
Elang memarkir mobil tepat di depan rumah setelah melewati taman yang bisa dibilang cukup luas. Dua pilar yang menjulang ke atas terlihat sangat mewah dan memperkokoh bangunan ini. Setelah mematikan mesin, ia turun dan membantu Janu keluar dari mobil, lalu membopongnya menaiki lima anak tangga sebelum memencet bel pada pintu utama. Belum sempat tangan Elang mencapai bel, pintu tiba-tiba terbuka. Dari dalam berdiri seorang ibu yang umurnya tidak jauh beda dengan ibunya.
"Ibu Imelda?" seru Elang kaget.
"Nak Elang, ya?" Ibu itu balik bertanya dengan nada yang hampir sama kagetnya.
Pada kening Janu terlihat sebuah kerutan, pertanda tidak percaya jika ternyata ibunya dan Elang sudah saling kenal.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT
TIDAK BOSAN-BOSAN AUTHOR MENGINGATKAN BAGI YANG BELUM FOLLOW AKUN INI SILAKAN DIFOLLOW TERLEBIH DAHULU.
BANTU AUTHORNYA JUGA UNTUK PROMOSI.
❤❤❤
NIH DONAT BUAT KALIAN😅
🍩🍩🍩🍩🍩🍩🍩🍩🍩🍩
(HANYA UNTUK 10 ORANG TERCEPAT)
😅😅😅
KAMU SEDANG MEMBACA
O ANTAGONISTÌS (TERBIT)
Mistero / ThrillerDiterbitkan oleh Penerbit Grass Media (Tersedia di TBO & Gramedia) *** Elang, Emillio Elang Nugroho, mahasiswa semester sepuluh dengan segudang teka-tekinya. Sejak ayahnya meninggal ia selalu diteror oleh orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal...