16. Cemburu

8.7K 2.2K 90
                                    

(Revisi setelah end)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Revisi setelah end)

Janu menatap Elang penuh kesal. Sementara Aruna terlihat bingung harus melakukan apa. Tidak mungkin dalam keadaan seperti ini dia akan meninggalkan keduanya.

"Jadi, gimana? Lu mau 'kan jadi pacar gue?" tanya Elang sekali lagi tanpa menggubris Janu yang berdiri di samping kursinya.

"Hei, Aruna pacar gue!" sergah Janu sembari memegangi kaus Elang.

Keadaan semakin menegang. Mereka sekarang jadi pusat perhatian para pelanggan yang lain. Elang yang diperlakukan seperti itu hanya melepas pegangan Janu tadi dan menatapnya malas, lalu kembali menatap Aruna yang semakin pucat. Sebelumnya gadis itu tidak pernah ada di situasi seperti ini, di mana ada dua cowok yang bertengkar karenanya. Sebenarnya Janu hanya sedang memainkan perannya, tetapi bagi Aruna itu sangat berlebihan jika disertai dengan amarah.

"Gue butuh jawaban dari lu, bukan dari ketua BEM kita satu ini. Ketua BEM kok bar-bar. Merusak reputasi kampus aja," komentar Elang, menyindir Janu yang akhirnya sadar dengan tingkahnya yang berlebihan. Apalagi di tempat umum. Meskipun terkadang seorang pendiam pun akan menjadi bringas jika pujaan hatinya diganggu oleh orang lain.

"E ... e maaf, Lang. Aku ... aku ...." Aruna bingung harus menjawab apa agar suasana mendingin.

"Sudah, Aruna! Ayo kita pulang! Hargai aku sebagai pacar kamu!" potong Janu, ia semakin merasa diremehkan oleh Elang. Bagi Aruna saat ini Janu sedang berpura-pura, tetapi bagi Janu itu adalah sebuah keseriusan.

"Ayo, Na. Kita pergi. Lang, kita pulang duluan ya. Nggak enak diliatin orang gini," ucap Ira.

Ira, Aruna, juga Janu keluar dari kafe. Setelah sebelumnya Janu meletakkan uang seratus ribu di meja kasir tanpa bicara dan langsung pergi.

"Mbak, cappuccino satu," ucap Elang kepada seorang pelayan yang kebetulan lewat di dekat mejanya. Sekarang hanya ada dia sendiri.

Wajah Elang merah padam. Sejak tadi dia menahan amarah karena di situ ada Aruna. Jika tidak, pastilah Janu sudah babak belur dipukulinya tanpa ampun karena berani mempermalukannya di tempat umum seperti ini.

***

Di sudut kafe terlihat dua orang preman yang saling berbisik, memastikan kalau yang baru saja keluar adalah Elang, target mereka. "Hei ...!" teriak salah satu dari keduanya.

Elang balik badan melihat siapa yang baru saja berteriak. "Kurang ajar! Dalam posisi seperti ini mereka muncul. Tamat kalian!" besitnya dalam hati dengan kemarahan yang masih berkobar karena kejadian tadi. Elang pun berlari melewati orang-orang yang lalu-lalang.

Ia ingin menggiring mereka ke tempat sunyi. Jika hanya berdua, bagi Elang itu bisa dilawannya sendiri. Saat ini ia tidak peduli meski harus babak belur, paling tidak dia punya sarana untuk melampiaskan amarah yang tertahan karena Aruna.

Dua orang preman bertubuh kekar itu ngos-ngosan mengejar Elang yang sangat lincah melewati padatnya pejalan kaki di jalur trotoar. Kebanyakannya adalah para mahasiswa. Mereka berada belum cukup jauh dari kampus.

"Bos, biarin aja deh. Capek. Kita cari mangsa lain aja buat dipalakin," ucap seorang diantaranya yang bertubuh pendek. Namun, dari segi otot, miliknya lebih kekar dari pada seseorang yang tadi dipanggilnya bos.

"Cemen banget, lo! Baru juga segini. Ayo, kejar lagi!" Dua orang itu terus mengejar Elang yang telah jauh di hadapan.

Hampir sepuluh menit adegan kejar-kejaraan itu, hingga akhirnya tibalah pada tempat yang menurut Elang cukup seru untuk beradu otot. Sebuah tanah lapang yang tidak terlalu luas di belakang rentetan rumah susun yang tidak beraturan bentuknya.

Di sudut lain muncul juga dua orang yang menjadi lawan Elang. Tas dan jaketnya ia buka dan lempar secara sembarang. Elang mengambil ancang-ancang. Selama ini dia tidak pernah meladeni mereka, dan sekarang adalah momen yang pas untuk berbagi amarah. Meskipun dengan objek yang berbeda.

"Hei, Om! Satu lawan dua aja! Nggak usah sungkan!" teriak Elang.

Sebenarnya itu adalah sebuah taktik pertarungan. Menjatuhkan mental lawan sebelum menyentuh, dan Elang memahami itu. Karena merasa diremehkan, keduanya langsung menyerang dengan cepat. Masing-masing dari mereka mengeluarkan pukulan terbaiknya. Adegan pukul, tending, dan tangkis pun berlangsung di antara mereka. Namun, Elang masih mendominasi. Hingga akhirnya lawan menyerang dari dua arah.

Elang makin kewalahan menghadapi mereka yang gencar memukul bagian pinggangnya. Ia merasakan dingin pada bagian itu. Kemudian, sedikit mundur melihat kaos hitamnya lengket oleh darah yang keluar dari bekas jahitan pada perutnya.

Semester lalu dia pernah terkena tikaman oleh salah satu dari teman-teman preman ini. Meski begitu, Elang tetap mencoba menahan rasa sakit dan melakukan perlawanan lebih agresif. Dua, tiga pukulan berhasil ia daratkan pada wajah dua lawannya itu. Namun, karena keadannya kian melemah sebab darah yang terus mengucur, ia berhasil ditahan oleh salah satu dari mereka. Lengan besar pria itu melingkar pada pinggang Elang, lantas menghempaskannya di atas tanah. Setelah jatuh, tangan Elang langsung dipegangi dan ditahan di belakang tubuhnya.

Sebenarnya Elang masih punya sedikit kekuatan sisa, tetapi belum sempat bertindak, lelaki tadi lebih dahulu menempelkan pistol di pelipisnya. Moncong senjata yang dingin terasa sama persis dengan darah yang masih mengalir di perutnya. Elang tidak bisa berkutik.

"Gimana kalau kita habisi aja, Bos?" tanya laki-laki yang sedang menahan Elang.

"Goblok! Lo mau bertindak tanpa perintah dari Bos? Bos mau agar anak ini tersiksa selama hidupnya. Udah, biarin aja dia! Jangan sampe dia mati di tangan kita. Kita bisa bahaya."

Elang tidak paham apa maksud mereka. Siapa dalang di balik teror yang selama ini ia terima? Susah payah dengan tubuh yang lunglai ia bangkit. Kedua pria tadi entah telah pergi ke arah mana. Elang ditinggalkan terkapar begitu saja.

"Nggak apa-apa. Sakit hati gue akhirnya sedikit terobati," ucapnya pada diri sendiri.

Setelah itu mengambil jaket dan mengikatkannya pada bagian perut yang berdarah. Agar darahnya sedikit tertahan, dan juga agar orang-orang tidak curiga sebab melihat bercak darah dari kausnya.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT.
BANTU JUGA AUTHOR DENGAN MENG-SHARE CERITA INI KE MEDIA SOSIAL KALIAN.
BIAR CERITA INI BANYAK YANG TAU.
❤❤❤

O ANTAGONISTÌS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang