(13)

395 24 44
                                    

MAYA

Ketika pintu pesawat membuka, siluet bayangannya sudah menunggu dibawah tangga.

Demi Tuhan,___ aku gemetar,___ dia terlihat sama seperti dulu.

Masih sama tampannya, masih sama gagahnya, dan dia tersenyum tipis.

Perlahan aku menuruni tangga, meski gaun itu panjang, tapi karena belahannya yang tinggi membuat gerakku tak terhalang.

Berusaha mengingat diri jika aku adalah seorang Lady, aku mati- matian menahan diri untuk tak menghambur memeluknya, menahan kerinduan yang membuat dadaku sesak.

Aku mengangguk canggung dan balas tersenyum.

Dia mengulurkan setangkai bunga mawar ungu, aku menerimanya, dadaku semakin berdebar, tapi kutepis, aku tidak ingin berandai- andai,__ jika masa lalu bersamanya kelam dan pahit, aku tak ingin kembali mengingat ucapannya saat berada di Kapal Astoria, sikapnya juga sangat manis, tapi beberapa hari kemudian, dia kembali bersikap sangat dingin,__ apa yang terjadi di Astoria semuanya menguap begitu saja, bahkan dari mulutnya terucap dia hanya terbawa suasana, menganggap aku hanyalah teman sebagai pembunuh rasa bosan.

Aku hancur saat itu,___

Dan saat di Izu dia kembali menegaskan, tidak ada harapan untukku.

Karena itu saat kami berjabat tangan kuredam keinginan bawah sadarku  aku tidak bisa seenaknya memeluknya seperti  dulu saat di Kapal Astoria__, Aku tak berhak,___sepertinya dia juga menahan diri dan menjaga jarak padaku untuk tidak kembali timbul harapan palsu.

Aku mengerti.

Dia hanya butuh ditemani,___

Tak ubah saat kami bersama di Kapal Astoria.

Aku tidak ingin berandai- andai lagi.

Kini kami saling memandang dalam jarak dekat.

Seperti mimpi dia begitu dekat dengan jangkauan tanganku.

Kami berbasa basi menanyakan kabar, lantas dia membantu membawakan koperku, dan supirnya dengan cekatan meletakkannya dalam bagasi mobil.

Sesaat wajahnya menyendu, aku tidak tahu mengapa, mungkin saja dia teringat akan perceraian dan rumah tangganya.

Aku berusaha tidak memedulikannya,__

Menata hatiku saja sudah sangat kacau!!

Aku memasuki mobilnya. Dan saat duduk disampingnya,__

Tangannya menyentuh sedikit lenganku, membuat hatiku berdesir hangat.

Menyedihkan,__ hanya dengan sedikit sentuhan, hatiku sudah kocar kacir tidak karuan,__

Mobilnya baru,__ dan sangat nyaman, sayang dia begitu jauh duduk dan diantara kursi kami terdapat Car seat Gap filler  , membuat lengan tak beradu saat bertopang, dan entah mengapa aku sedikit kecewa.

Di duduk dengan tenang, sementara aku selalu meliriknya tidak karuan, dan setiap kali aku meliriknya, pandangan kami bertemu, dia juga menatapku.

Demi Tuhan,___ ini sangat canggung.

Dia kembali berbasa basi menanyakan kegiatanku selama di London.

Dengan lancar aku menceritakan semua yang kulalui selama di London, bagaimana aku berusaha belajar menguasai bahasa inggris, teman sekamarku Marie yang kini menjadi sahabat satu perjuangan dan teman satu apartement, pementasan- pementasan yang kuikuti hingga kegemaranku yang baru menulis lagu.

Dia menimpali,__ wawasannya sangat luas, tentu saja, dia Direktur Entertainment, semua hal yang kulakukan sudah pasti dia kuasai.

Sejenak dunia seolah tengah berjalan mundur.

Pursuing a DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang