16. Awake

44 5 0
                                    

guys, bikin challenge yuk!

kalo AU ini mencapai 60 vote, pekan depan rilis empat chapter! gimana??

yuk ramein vote di AU ini, kalian pasti bisa!!

50 vote = empat chapter pekan depan

semangat gaesss yuk diajakin temennya baca AU NCT hihi 🤭

.

.

Aku terpekur di kantin sambil mengunyah sedotan saking gabutnya.

"bang Julian tuh boss perusahaan mobil impor tau Han." Ucap Wanda sambil menelusur internet. "Nih doi mejeng di situs pencarian saking sultannya,"

Mataku melebar melihat sosok pria yang membantuku tadi pagi ada di situs internet, berarti Hilda berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas tapi rendah hati loh, mau bergaul sama aku yang bukan apa-apa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mataku melebar melihat sosok pria yang membantuku tadi pagi ada di situs internet, berarti Hilda berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas tapi rendah hati loh, mau bergaul sama aku yang bukan apa-apa.

"Yang sultan tuh Julian gaes." Ucap Hilda merendah, "Akumah mahasiswa biasa tapi soon to be sukses juga deh ya."

"Aaamiiin" cetusku bersama dengan Wanda. "Ngomong ngomong.... Badannya bang Julian bagus gitu fitness dimana?"

"Doi taekwondo sabuk hitam." Jawab Hilda.

"Kok tumben kamu dianter dia Da?" tanya Wanda.

"Gatau juga ya." Jawab Hilda. "Mungkin karena mobilnya di servis jadi modus gitu nganter biar bisa pake mobilku."

"katanya punya helicopter?" ucap Wanda membuatku melongo, serius Hilda punya helicopter?

"Apaan sih Nda jangan ngadi ngadi eh." Cetus Hilda kemudian tertawa, "Yang kaya itu Julian sama orangtua aku. Kalo aku mah masih bergantung ke mereka ngga pantes bangga banggain itu."

"Iya deh sultan." Ledekku dibalas dengan tawa kami bertiga dan kemudian handphone ku berbunyi, telepon dari Umi.

"Mbak Hana udah selesai kuliahnya?" tanya Umi dari seberang telpon.

"Bentar lagi pulang sih Mi." jawabku. "Kenapa?"

"Gini Han." Ucap Umi sembari menghela nafas, "Umi tadi udah otw pulang dari Rumah Sakit, kirain si abang bisa gantiin Umi, ternyata dia ada tugas yang gabisa ditunda jadi kamu segera ke Rumah Sakit ya."

"Iya Mi." jawabku singkat.

"Oh iya bawain makan malem juga ya." Ucap Umi, "Dendi katanya juga otw ke Rumah Sakit."

.

.

Mas Dedi makan salak dengan tenang saat aku masuk ke ruang tunggu ICU, dia memandangku seraya tangannya sibuk mengupas salak.

Mas Dedi makan salak dengan tenang saat aku masuk ke ruang tunggu ICU, dia memandangku seraya tangannya sibuk mengupas salak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kok tumben kesini sendiri?" aku membuka percakapan diantara kami.

"Kirain kamu disini, ternyata si Abi sendirian ga ada yang jaga." Ia membuang kulit salak tanpa memadangku, "Jadi saya disini aja sampe ada keluarga yang dateng."

"Iya ternyata si abang ada tugas dadakan jadi gabisa jaga." Jawabku, "Nih disuruh Umi beliin makan buat mas."

Tiba tiba ia menatapku jutek dengan mata kecilnya, membuatku grogi.

"Napa tiba-tiba jutek begitu?" tanyaku takut takut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Napa tiba-tiba jutek begitu?" tanyaku takut takut.

"Gapapa iseng aja." Jawab mas Dendi. Rese... kukira dia marah ato kenapa gitu, bikin takut aja.

"Tadi ke ruangannya Abi?" tanyaku. "Gimana kata dokter?"

"Tanda vitalnya stabil sih kata dokter," jawab mas Dendi, "Kemungkinan beberapa hari lagi siuman."

"semoga aja." Balasku singkat, mas Dendi tersenyum simpul kemudian suasana kembali hening. "Mas udah ngga sibuk?"

"Kapan saya sibuk?" ucap mas Dendi terkekeh. "Ngga pernah sibuk saya mah."

Aku mendekati posisinya dan menatapnya kesal, "Terus ga chat kenapa? Marah sama aku?"

"hmmm? Kenapa harus marah?" tanya mas Dendi cuek. Ih nyebelin banget sih mas, jangan bikin aku nethink dong dasar ngga peka.

Mas Dendi memandangiku dari atas hingga bawah, "kok diem?"

"Auk ah." Jawabku dengan wajah merah padam, males banget sok rahasia kayak gitu.

"Haha.... Saya ngga marah." Ucap mas Dendi, "Saya tau kamu sibuk ngurus Abi jadi saya ngasih kamu space tapi ya sebenernya saya jadi ngerasa kosong... biasanya nganter jemput kamu sembari jalan pulang."

Seketika mataku berkaca kaca menatap mas Dendi, "Kenapa ngga bilang? Padahal.... Aku ngga masalah kalo mas hubungin ato jemput terus kita pulang bareng."

Kurasakan tangan mas Dendi mengusap pipiku yang basah, pandangan kami terkunci satu sama lain.

"Emang harus pake nangis?" tanya mas Dendi yang perlahan mendekatkan wajahnya seraya Jantungku mulai berdesir, duh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Emang harus pake nangis?" tanya mas Dendi yang perlahan mendekatkan wajahnya seraya Jantungku mulai berdesir, duh... mas.... plis jangan-jangan mas mau...

"Dengan keluarga pasien?" tanya sosok yang ternyata suster membuat mas Dendi menjauh dan menjaga jarak dariku.. "Pasien akhirnya siuman pak, bu. Silahkan ikut saya ke ruang rawat."

.

.

.

Biasku bukan mas Adoy tapi mencari material mas Adoy membuatku gentar

takut oleng bin ambyar sist

takut oleng bin ambyar sist

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Friday, 22th Jan 2021

From Home no.127 • NCT AU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang