• Kurang • Lebih • Cukup •
Menjadi cerdas, penuh wibawa, independent, dan tidak kekurangan satu apapun adalah empat harapan utama yang dituliskan Abiana di dalam notes pribadinya sejak ia masih duduk di bangku SMP. Sejak kecil, ia hidup serba berlebih, dengan tetek bengek aturan sulit yang ia ciptakan sendiri. Diet, badan proporsional, kulit mulus, tulang pipi indah agar bentuk wajah kian sempurna. Wanita itu berjuang keras untuk mendapatkan itu semua, berharap pada suatu hari ada agensi besar dan terkenal yang mau merekrutnya sehingga dengan begitu ia dapat mengembangkan sayap karir sebagai model terkenal.
Namun, setiap manusia yang masih tinggal di bawah atap langit semesta, mustahil bisa kabur tanpa membawa koper berlabel masalah. 10 tahun berlalu semenjak ia mulai menulis sekian banyak wishes di dalam notes bahkan hingga kini, hampir semua sudah diberinya tanda centang. Abiana bisa dikatakan berhasil, privilege yang ia miliki mempermudah tapaknya menuju puncak piramida.
Hingga di satu hari, ketika salju turun deras di Kota London, dan hujan disertai gemuruh membasahi Kota Jakarta, Abiana sadar bahwa hidupnya tiada lagi berlebih. Dalam hitungan detik, semesta membuatnya merasa begitu kurang dan tidak berdaya. Dua elemen bersaudara yang merampas kebahagiaan Abiana sehingga ia luruh bersama nestapa. Sesak. Napasnya bak ditarik paksa tatkala jasad seorang kesayangannya dimasukkan ke dalam peti mati dan dikubur untuk selamanya. Kisah indah di dermaga itu seharusnya menaiki kapal untuk berlabuh pada ikatan pernikahan. Hanya saja, skenario Tuhan bertitah bahwa cincin yang mengikat jari manisnya tidak lagi mengartikan apa-apa. Abiana Alula, dia terpaksa menelan pahitnya pil kenyataan.
Di bawah langit empat musim, Abiana mencoba menemukan dirinya sendiri. Menjadi lebih tidak serta merta membuatnya merasa penuh, sedang menjadi kurang jelas membuatnya sengsara dan kosong. Hingga Abiana menemukan jawaban dari seseorang yang tidak pernah ia bayangkan akan berperan penting dalam kehidupannya.
"Lo kan bisa masak, ya." Ia menatap seorang pria di seberangnya dengan raut jutek seperti biasa. Kukunya yang dilapisi kuteks hitam mengetuk permukaan table top, kemudian mengalihkan pandangan pada salmon mentah yang masih berada di atas piring. "Coba kasih tau gue resep buat bahagia."
"Ngaco lo," sambar pria itu, kemudian membalikkan badan ke arah wajan untuk melihat ayam karagenya apa sudah bisa diangkat atau belum.
"Kenapa gue selalu dibilang ngaco, sih, setiap nanya gimana caranya bahagia."
Pria itu belum bersuara, melainkan hanya sibuk geleng kepala seraya mengangkat ayam karagenya dari kolam minyak panas dan mematikan api kompor. Ia mencari tempat untuk meniriskan ayam, dengan cekatan melakukan semuanya. Setelah itu, baru benar-benar berbalik menatap Abiana yang sejak tadi menanti jawaban.
"Jadi apa yang buat lo ngerasa kurang, Bia? Kenapa lo bisa ngelabelin hidup lo nggak bahagia disaat lo udah dikasih semuanya."
"Belum semua." Bia memutar kedua bola mata cokelatnya yang terang. "Bahagia bukan cuma soal materi, kan?"
"Lo bisa ngomong kayak gitu karena lo nggak pernah tau gimana rasanya khawatir mikirin besok harus makan apa atau tidur dimana. Lo bukan pengangguran, lo tinggal di London dengan segala kecukupan, lo udah keliling dunia dan lihat banyak hal. Orang-orang bahkan harus naruhin nyawa buat perjuangin materi yang lo anggep nggak penting barusan. Apa nggak keterlaluan kalau lo masih nanyain resep bahagia?"
"Kenapa harus bandingin masalah gue sama masalah orang lain?" tanya Bia semakin tajam. "Emangnya kelihatan mustahil orang kayak gue punya masalah? Gue juga bisa nangis kali, gue juga bisa nggak baik-baik aja."
"Maksud gue nggak kayak gitu."
"Tapi jelas maksud lo ke arah sana." Bia memutari table top yang memisahkan mereka sampai ia berdiri tepat di depan pria itu. Tidak sulit untuk Bia melemparkan tatapan tajamnya dari jarak sedekat ini. Tinggi mereka tidak jauh berbedaㅡdahi Bia setara dengan bibir pria yang baru saja membuat emosinya naik ke ubun-ubun.
"Gue cuma butuh jawaban singkat dari lo. Pertanyaan gue juga sederhana, kan? Gimana caranya bahagia. Dari gue kecil, yang gue tau, cuma materi yang bisa bikin gue bahagia. Tapi lo nggak tau segimana mau gilanya gue waktu kepala gue bilang, materi ternyata bukan alasan utama buat jadi bahagia. Udah dikasih segini banyaknya, tapi gue malah ngerasa kosong di dalem. Hari demi hari gue malah ngerasa makin kurang. Dan lo, sebagai temen deketnya kakak cowok gue, yang juga udah kenal gue dari tahun-tahun lalu, lo tau pasti kalau gue nggak pernah mau hidup dalam keadaan kurang, Victor. Gue benci hidup kayak gini."
Julian Victor menangkap kilatan pedih itu tepat dari sepasang cokelat terang di hadapannyaㅡdari seorang wanita dengan dress hitam sederhana yang baru saja mengakui isi hatinya, rahasinya, secara terang-terangan. Victor melepas serbet dari tangannya, kemudian tanpa peringatan merengkuh tubuh rapuh itu dalam dekapannya yang hangat.
"Resepnya cuma satu, Biana," kata Victor pelan. "Kalau lo paham makna cukup, lo nggak bakal goyang mau Tuhan nguji lo dengan keadaan lebih atau kurang. Karena lo udah punya senjatanya, kalau hidup dengan ngerasa cukup, itu cukup."
Tuhan, topeng seperti apa yang dipakai oleh Abiana ketika ia harus berjalan di bawah sorotan lampu-lampu dan ratusan pasang mata. Wanita itu terlihat begitu kuat tatkala dia memamerkan kaki jenjangnya di lintasan karpet merah. Bahkan persis mawar, keindahan Abiana hanya cukup dilihat dari jauh karena auranya begitu tidak tersentuh. Ia terlihat sangat kuat dengan pesonanya sendiri. Tapi detik ini, ketika Victor mengelus lembut punggung sang model penuh pesona, tiada ditemukannya kekuatan di sana. Terasa rapuh dan bisa hancur kapan saja.
• r o s é •
// Pra cerita, 19 Januari 2021 //
Udah keliatan gambaran ceritanya akan seperti apa? Sebenarnya, awal mula judul cerita ini adalah Kurang, Lebih, Cukup. Tapi karena fokus cerita ini sepertinya akan lebih luas dari sekedar pembahasan kurang dan lebih, aku memutuskan untuk ganti.
Bloom Like a Rose sendiri adalah cita-cita Abiana, seperti yang udah digambarkan. Lewat proses "Bloom" tadilah, Abiana enggak cuma belajar tentang menjadi cukup, tapi juga menjadi kuat layaknya sebuah mawar. Dia ingin ngerubah semua lukanya jadi duri pelindung, supaya dia bisa proteksi dirinya sendiri.
Semoga aku bisa nulis cerita ini lebih baik dari sebelum-sebelumnya, ya. Sabar menanti bab 1 di 1 Februari nanti 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Blooming Like a Rose [Abiana]
Romance• Abiana dan setangkai mawarnya • Bergulung dengan ombak adalah rintangan shahih ketika berenang di dalam samudera kehidupan. Bertahan atau menyerah bak persimpangan di ujung jalan, dan hak atas memilih ada dalam kendali akal sendiri. Menjadi kuat...