└ ◦ H e a r t l e s s ◦ ┐
"Gue nggak pernah kepikiran buat pacaran sama adiknya, lagian dia udah gue anggep kayak adik sendiri."
Sepulangnya Victor, Bia menemukan dirinya terduduk diam di atas sofa. Tatapan wanita itu kosong ke arah televisi yang baru selesai menayangkan film Rudy Habibie. Tadi itu apa? Sebegitu penasarannya benak Bia terhadap momen beberapa saat lalu. Dia terbiasa sendiri, sangat amat terbiasa. Namun baru sehari, kehadiran seseorang yang seharusnya asing membuatnya malah kecanduan akan ramai.
Ini tidak baik, begitu kata hatinya.
"Lo boleh tau bilang kalau lo lagi sedih, lagi nggak baik-baik aja. Lo boleh nunjukin marah lo, Biana." Astaga. Siapa yang memberi izin pada pria itu untuk memanggil Bia dengan begitu lembutnya? Sial. Kepala Bia terasa hendak pecah karena suara Victor yang memanggilnya lembut terus berputar bak kaset rusak.
"Victor, lo nggak sopan," hardik Bia sambil melirik ke langit-langit ruangan yang putih terang.
Alih-alih soal suka dan jatuh cinta, ini jauh lebih mematikan. Ketergantungan akan seseorang bak racun yang tidak memiliki penawar sekalipun sudah dicari ke belahan dunia mana pun, sebab obatnya hanya satu; tentu orang yang dimaksud.
Bia takut kalau-kalau dia malah membutuhkan orang lain selain daripada Amy. Hidupnya sudah hancur berkeping, dan sekarang pun masih sedang berlangsung dikarenakan sudah nekat memberi hati pada sosok yang akhirnya juga pergi. Hati Bia dibawa jauh melanglang buana menuju keabadian yang tidak memiliki tombol pulang, yang alamatnya tidak bisa ditemukan. Entah suatu saat hati itu akan dikembalikan padanya atau tidak akan pernah lagi menjadi miliknya.
Bia menyugar rambut, merasakan sesak itu kembali dan perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. Wanita itu mengusap dadanya yang kosong, merasakan tiap detak fana yang menjadikannya hidupーtepatnya berpura-pura hidup.
Mayat hidup, begitu teman-teman sesama model menamainya. Persis seperti yang Victor katakan, bahwa Bia bernapas hanya untuk formalitas belaka. Bia lupa menggunakan privilege-nya sebagai manusia; katakan sedih bila sedih, berteriak saja kalau sebal, tarik selimut bila mata berat, dan isi perut kalau lapar. Bia tidak dilarang untuk menyuarakan isi hatinya, namun memilih membuat batasan dan berlaga menjadi si paling kuat.
Bia lupa, bahwa tumbuh menjadi mawar yang mampu melindungi diri sendiri dengan jutaan duri tidak akan menjadikannya sempurna. Pada akhirnya, mawar juga akan layu, kelopaknya juga akan gugur seiring waktu. Dia tidak bisa kuat terus, atau sendu terus. Fase demi fase itu kelak juga akan ditemui satu persatu. Bia hanya perlu melalui itu semua selayaknya manusia, bukan seperti mayat hidup yang dilabeli oleh teman-teman terhadapnya.
Dan tugasnya selagi berproses menjadi manusia normal dengan detak jantung sungguhan adalah dengan menemukan hati yang sudah lama menghilang.
◔
"Menurut lo di sini aja udah cukup, Tok? Kayaknya mesti ditambah, deh." Victor memajukan wajah pada kamera untuk melihat beberapa hasil video yang diambil Atok, "Ini keren banget, asli. Asiknya kemana lagi nih kita?"
"Gue pengen banget malem ini bisa dapet view malem di sekitaran Masjid Suleymaniye, sih, mumpung cerah gini. Takutnya besok-besok malah hujan." Atok meneguk air putihnya sedikit, kemudian kembali memotong daging steak-nya dengan penuh semangat.
"Kalau gitu abis ini langsung ke sana aja kali, ya?"
"Boleh," angguk Atok setuju.
Bagi Victor, tugas Atok itu menyenangkan. Mengambil gambar dan memperhatikan tiap sudutnya agar terlihat indah dan memanjakan mata. Sinematografi bukan bidang khususnya, tapi Victor senang ikut walau sekedar membantu membawakan keperluan untuk pengambilan gambar di luar shooting mereka. Sekalian refreshing agar ide-ide lebih gampang bermunculan di dalam kepalanya yang sering dibakar deadline.
"Ngomong-ngomong, siang tadi lo kemana?" tanya Atok pada Victor, ada nada selidik dalam suaranya. Curiga kalau-kalau Victor punya pacar. "Nggak mungkin pacar, kan? Perasaan gue paginya lo juga ngilang, padahal kita baru nyampe. Kayak laki kebelet ketemu bini."
Victor tertawa dan menggeleng santai, "Adiknya temen gue tinggal di sini, nah dia minta tolong gue supaya liatin adiknya."
"Bilang pacar aja apa susahnya, sih?" Atok masih gencar memancing, dia bersemangat kalau topiknya begini. "Lo nggak perlu ngejelasin ampe panjang begitu, ngaku aja."
"Apaan sih, Bego," sewot Victor hampir melemparkan daging asap ke wajah Atok. "Yakali gue macarin adiknya temen gue."
"Ya emang kenapa? Kan kagak ada larangan?"
"Lo emang mau ipar-iparan sama sohib lo sendiri?" Ada kengerian di wajah pria itu, pertanda bahwa dirinya sedang sungguh-sungguh.
"Lah?" Atok masih tidak mengerti.
Mendadak, Victor jadi kepikiran kalau-kalau dia dan Bia berpacaran. Membayangkan meminta restu Abi saja sudah membuatnya merinding, apalagi bertindak lebih jauh lagi. Pria itu menyadarkan diri, menggeleng cepat. "Nggaklah, Tok, gila apa lu?"
"Emang salahnya dimana, dah?" Atok masih saja memancing, kali ini mencoba umpan baru. "Kalau emang ntar jodoh gimana? Lo bisa apa?"
Victor melepas garpu dan pisaunya, dia menaikkan lengan kemeja yang jelas-jelas sudah dinaikkan hingga siku. Raut wajahnya serius pada Atok. "Nih, ya, lo bayangin kalau lo yang mesti nikahin adiknya temen lo. Ini posisinya temen lo cowo ya. Pertama, lo harus minta restunya dia, iya kalau dia setuju, kalau nggak? Terus kalau ntar gue sama adiknya berantem, udah pasti nasib gue abis. Jadi ipar sama temen lo sendiri tuh sama aja kayak bunuh diri tau nggak? Banyak bagian seremnya, percaya sama gue. Lagian masa ginian aja lo nggak paham."
"Bukannya malah lebih bagus? Temen lo bakalan lebih percaya kalau adiknya dijaga sama orang yang paling dia kenal."
Victor menepuk meja, lalu menjentikkan jari. "Ya justru karena itu, karena temen gue udah kenal banget sama gue makanya dia nggak bakal ngasih restu. Lagian, gue nggak pernah kepikiran buat pacaran sama adiknya."
"Satu kali pun?"
Sialnya, Victor tidak bisa langsung menjawab. "Ada, sih, tapi dulu pas SMA. Tapi kepikiran iseng doang abis itu udah enggak. Udahlah, intinya gue nggak bakal aneh-aneh ke adiknya temen gue, orang dia udah gue anggep adik juga."
Victor melanjutkan makannya. Mereka harus bergegas biar pekerjaan juga cepat beres dan dapat kembali ke hotel untuk beristirahat.
"Tapi kalau adiknya temen lo malah suka sama lo, gimana?"
"MASIH AJA LO LANJUT!" Victor hampir saja melemparkan piringnya pada Atok. Dia mengucap istighfar berulang kali, bersabar pada pria gondrong yang tengah asik tertawa karena berhasil mengoloknya. "Lo ngomong lagi, gue tinggal lo sendiri, bawa aja tuh barang-barang lo."
"Sialan!" Raut wajah Atok berubah panik. Dia mulai menjaga sikap, "Oke-oke, kita damai."
"Nggak bisa damai doang, lo juga mesti bayar makanan gue," Victor mencibir, lalu mengedikkan bahu dengan bahagia karena berhasil mencuri kesempatan dalam kesempitan.
Walau tidak bisa dielak, beberapa hal tentang Bia mulai mengusik ketenangan pria itu. Entahlah, yang Victor lihat hari ini bukan seperti Bia saat mereka masih sama-sama mengenakan seragam, melainkan seorang wanita dingin yang terasa begitu jauh. Kalau saja Abirayyan melihat seperti apa kondisi adiknya, dia akan sama terkejutnya dengan Victor.
◕
[Sabtu, 19 Juni 2021]
maaf ya kalau chapter ini pendek semoga tetap suka ♡
menurut kalian gimana ceritanya sejauuuh iniii? aku tunggu kalian di kolom komen ya👋🏼🥺
KAMU SEDANG MEMBACA
Blooming Like a Rose [Abiana]
Romance• Abiana dan setangkai mawarnya • Bergulung dengan ombak adalah rintangan shahih ketika berenang di dalam samudera kehidupan. Bertahan atau menyerah bak persimpangan di ujung jalan, dan hak atas memilih ada dalam kendali akal sendiri. Menjadi kuat...