"Kasihi mereka yang masih hidup, relakan mereka yang sudah mati."
You can't ask a tree to blossom
If it isn't spring
Don't leave the house at midnight
And expect the birds to sing
If you're lookin' for a reason
You needn't even try
Sometimes it's time to let a good thing die.Suara Bruno Major mengalun lembut mengisi setiap celah sunyi di dalam mobil, menemani sore Bia yang sepi. Siksaan hari ini selesai, akan menyusul siksaan esok dan esoknya lagi. Mobil yang ia kendarai perlahan berhenti tepat di belakang Range Rover bewarna hitam, bibirnya mengerucut sembari membuka kaca dan membuang pandangan ke luar alih-alih ke depan. Angin musim gugur yang dingin menyapu wajahnya, membawa jutaan memori lama yang tidak pernah berhasil ia kubur.
Dulu, mereka beberapa kali datang melihat live concert Bruno Major, memiliki album dengan tanda tangan langsung dari sang penyanyi, bahkan pernah berfoto bersama. Bia sempat mencucinya, namun entah dimana keberadaan potret itu sekarang. Hanya ada soft file yang sengaja ia pindahkan dari ponsel ke laptop. Benar. Semuanya sempat indah, sampai tragedi itu lahir dan membuat hancur lebur seluruh sendinya. Semakin Bia mencoba lupa, lirik demi lirik dari setiap lagu Bruno Major malah kian melekat di dalam kepalanya bersama dengan bayangan Isaac yang tersenyum.
"Isaac, kamu pasti lagi minum teh, ya, di surga?" Bia menatap beberapa awan yang mengawang, berharap dapat melihat surga dari balik tumpukan kapas putih itu.
You can't drum up the heartbeats
Of loved ones come to pass
Stop wishing for forever
'Cause nothing ever lasts
If it's keeping you from sleeping
Wipe the tear from your eye
'Cause sometimes it's time to let a good thing die.Bia menghembuskan napas berat. Akhir dari lagu tersebut selalu saja mencekik, memutuskan napas yang susah payah disambungnya. Wanita itu menutup kembali kaca mobil, melihat ke depan dan Range Rover hitam tadi tentu masih di sana. Ketika lampu lalu lintas berubah hijau, para kendaraan mulai bergerak perlahan.
Langit London yang terbentang di depan perlahan mulai berubah warna. Bia menambah kecepatan, membiarkan Mini Cooper-nya membelah Theobalds Road yang begitu panjang bersama alunan suara Bruno Major yang masih setia terdengar. Dia ingin pulang lebih awal hari ini, dan yang terpenting tanpa adanya adegan tangis maupun pingsan di ruang tengah flat.
Sebelum benar-benar pulang ke flat, wanita itu mampir sebentar ke suatu tempat. Tepat di penghujung Theobalds Road, terdapat persimpangan, Bia lurus terus menuju Clerkenwell Road. Mobilnya berhenti tepat di depan toko laundry dengan jendela transparan yang memperlihatkan suasana di dalamnya. Bia membuka pintu mobil, kaki beralas sandal itu melangkah menuju pintu masuk dengan hanya membawa dompet di tangan. Bunyi lonceng kecil terdengar memenuhi ruangan tatkala Bia masuk.
"Selamat sore, Abiana!" sapa hangat seorang wanita paruh baya dengan kacamata kecil yang bertengger di hidungnya, rantai pada temple kacamata wanita itu tampak bergerak ke sana ke mari. "Aku akan ambilkan pakaian mahalmu." Nyonya Adams, dia berjalan ke luar dari meja, meninggalkan pena dan buku catatan panjang untuk berjalan ke rak dan gantungan baju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blooming Like a Rose [Abiana]
Romansa• Abiana dan setangkai mawarnya • Bergulung dengan ombak adalah rintangan shahih ketika berenang di dalam samudera kehidupan. Bertahan atau menyerah bak persimpangan di ujung jalan, dan hak atas memilih ada dalam kendali akal sendiri. Menjadi kuat...