└ ◦ Akong Ho & Ama Lian ◦ ┐
"Gelisahmu itu tidak pernah salah, Abiana. Bahkan setelah sepuluh tahun pun, cincin itu tetap bisa kau jaga, tetap bisa terus bersamamu. Dia bahkan belum pergi lama, kuburannya boleh jadi masih basah dan wajar kalau kau masih merasakannya berada tepat di sebelah bahumu."
Kembali lagi ke sibuknya senin. Badan matahari tampak sudah muncul sedikit, kicau burung gereja terdengar samar masuk melalui jendela yang sudah dibuka oleh tuannya. Sisa hujan subuh tadi masih membawa sisa dinginnya pada tiap sudut kota. Kesibukan di jalanan satu persatu mulai terlihat.
Penjual roti di persimpangan terlihat membalikkan tanda close menjadi open di pintu tokonya. Salah satu toko roti terbaik di wilayah Coventy Garden, selalu buka paling awal dan tutup paling akhir. Pemiliknya adalah pasangan Tionghoa yang sudah berumur. Setiap hari mereka dibantu oleh tiga karyawan muda; seorang pria dan dua wanita. Sesekali, anak dan menantu mereka juga datang sekadar untuk menjaga toko.
"Dingin kayak gini selalu enak duduk di dalam toko roti mereka. Teh hijau sama rotinya selalu berhasil bikin hangat," ucap Isaac suatu hari di ambang jendela dengan tangan terlipat di atas kusen hitam gelap. Iris abunya menatap toko roti milik Akong Ho dan Ama Lian.
"Mau?" tanya Bia menawarkan, ikut berdiri di sebelah Isaac sembari memperhatikan rintik gerimis berjatuhan. "Kita ke sana?"
"Hujan."
"Katanya mau teh hijau buatan Ama Lian," kekeh Bia menertawai baling-baling di atas kepala Isaac. "Mau nggak? Ada payung, kok."
"Kamu juga mau rotinya, kan?"
Bia melirik ke sembarang arah, menahan tawa atas ucapan Isaac sampai akhirnya ia mengangguk juga. Adalah perbuatan terpuji untuk membuat pria kesayangan kita bahagia, kan? "Iya, aku mau, Mas Bule. Tapi traktir, ya?"
Isaac mengepalkan tangan, mengangguk dan langsung meraih tangan kekasihnya. "Ayo, kita beli roti yang banyak."
Bia melotot, "Kamu nggak boleh makan banyak-banyak, tau! Aku jugakan lagi diet."
Isaac meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya, "My mom doesn't know this, Abiana, dan kamu nggak boleh jadi ember bocor ke ibuku."
"Ih!" tepukan Bia menyambar bahu Isaac, "enak aja! Aku nggak pernah ember."
Lirikan mata Isaac penuh curiga ke arah Bia, seolah berbicara 'Udah, nggak usah ngeles lagi, aku tau kamu sering ember ke ibu kalau-kalau aku nggak dengerin omongan kamu.'
Bia membuang muka, bahkan berjalan duluan meninggalkan langkah kaki Isaac di belakangnya karena sungguh tidak nyaman dengan lirikan tersebut. Dalam hati wanita itu berujar, 'Iya, deh, ngaku.'
"Kau sedang apa?" Pertanyaan Amy berhasil membangunkan Bia dari lamunannya. Wanita itu membuang napas yang entah sejak kapan sempat tertahan, memejamkan kedua matanya, menyesal karena lagi-lagi tenggelam dalam ruang imajiner sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blooming Like a Rose [Abiana]
Romance• Abiana dan setangkai mawarnya • Bergulung dengan ombak adalah rintangan shahih ketika berenang di dalam samudera kehidupan. Bertahan atau menyerah bak persimpangan di ujung jalan, dan hak atas memilih ada dalam kendali akal sendiri. Menjadi kuat...