Salah satu keunikan Orang Inggris, mereka sangat jarang terlihat dengan payung sekalipun hujan sedang mengguyur kota. Alasannya sederhana, karena hujan suka datang mendadak tanpa diundang dan pergi mendadak pula tanpa diusir. Membawa payung hanya akan merepotkan dan memenuhkan tangan. Seperti saat ini, langkah manusia berubah menjadi cepat bahkan berlari sambil menutupi puncak kepala dengan tangan dan tas mereka. Bagi yang memiliki topi di jaketnya terlihat santai saja membelah jalanan kota menuju tempat tujuan. Basah bagi mereka tidak apa-apa, tapi tidak bagi Bia yang sekarang sedang berteduh di salah satu pemberhentian bus bersama Isaac.
Tawa Bia pecah dibalik scarf rajut yang menutupi wajahnya ketika ia melihat wajah Isaac yang basah. Secepat kilat ekspresi wanita itu berganti, dia mencebik seraya memeluk lengan Isaac, mereka baru lima menit keluar dari gedung ketika hujan mendadak menyerbu bumi. Semangat Bia yang berkobar karena hendak berbelanja bersama sang pacar ke supermarket mendadak padam. Pulang ke rumah adalah pilihan terbaik.
"Kayaknya bagusan naik taksi," ujar Isaac sambil melihat kiri kanan. Kemungkinan keberadaan taksi di sebuah pemberhentian bus itu bahkan tidak mencapai 0,01%, jadi akan sia-sia kalau mereka tetap menunggu di sini. "Satu blok dari sini kayaknya kita udah bisa ketemu taksi. Kamu bisa lari kesana, kan?"
Isaac tertawa karena respon yang Bia berikan lewat ekspresinya. "Suruh taksinya ke sini aja."
"Mana mungkin," timpal Isaac geleng-geleng kepala. "Mau aku gendong?"
Napas keras yang Bia buang beruntung hanya menabrak scarf rajutnya. Alih-alih merasa tersanjung, dia malah ingin menjitak pacar tampannya agar bisa bersikap waras. Untuk Bia, lebih baik berlari sampai rumah daripada membiarkan Isaac nekat menggendongnya lagi. Terakhir kali ketika mereka menghabiskan waktu di tepi Sungai Thames, Bia dipaksa untuk naik ke punggung pria itu. Baru lima menit, mereka malah menghabiskan menit berikutnya terduduk di kursi outdoor McDonald's karena Isaac mendadak kesulitan bernapas. Rasa bersalah itu bahkan masih menggantung di pundaknya hingga hari ini.
Bia meletakkan tas tangannya di kepala, dia menatap Isaac serius. "Kamu tunggu di toko sepatu di depan aja, jalan pelan-pelan ke sana. Aku cari taksi dulu."
Belum sempat Isaac menjawab, Bia sudah kabur meninggalkan Isaac yang masih terkejut. Wanita itu benar-benar berlari dengan heels hitamnya, membiarkan Isaac terpaku memperhatikan sampai Bia hilang di balik gedung besar nan tua menuju blok lain. Dia sontak tersadar untuk segera berjalan ke toko sepatu yang Bia maksud. Isaac benar-benar berjalan, tidak berlari, bahkan tidak menutup kepalanya dengan apapun. Dia membiarkan rintik hujan jatuh di atas rambut hitamnya, tersenyum masam saat ia mengingat seperti apa kondisinya. Bahkan akhir-akhir ini, tanpa Bia ketahui, kondisi pria itu semakin memburuk. Yang terburuk, karena Isaac sudah mulai berbohong pada Bia, dia tidak pergi menemui dokternya hari ini dan memilih untuk tidur sepanjang hari.
Langkah Isaac terhenti sebelum ia mencapai toko sepatu, napas panjangnya beradu dengan rintik air yang lewat di depan wajahnya. Teringat ucapan sang dokter yang membuat dadanya kian sesak. Bagaimana mungkin Isaac bisa tenang ketika dokter mengatakan bahwa umurnya tidak akan lama lagi. Bisakah Isaac menikmati musim gugur ini hingga selesai, dan akankah ia bisa merasakan musim dingin nanti, lalu musim semi, kemudian musim panas, dan musim gugur lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blooming Like a Rose [Abiana]
Romance• Abiana dan setangkai mawarnya • Bergulung dengan ombak adalah rintangan shahih ketika berenang di dalam samudera kehidupan. Bertahan atau menyerah bak persimpangan di ujung jalan, dan hak atas memilih ada dalam kendali akal sendiri. Menjadi kuat...