"Bangun, kekecewaan ini perlu kita benahi."
Ponsel Bia tidak sekali pun berhenti bergetar semenjak 15 menit lalu. Bukan alarm, lagipula orang aneh mana yang tidur dengan alarm di hari sabtu? Itu sudah pasti panggilan dari seseorang. Bia mengerang tidak suka, dia benci tidurnya diganggu mengingat sesulit apa usahanya untuk mendapatkan tidur nyenyak. Seharusnya wanita itu mematikan ponsel setelah bertelepon dengan papanya semalam.
Bia mengulurkan tangan dari balik selimut, mencari ponselnya di atas meja nakas. Dahi Bia mengernyit dengan mata menyipit melihat layar ponsel. Semalam papa, sekarang mama. Apa orang tuanya segitu merindukannya?
Bia berdehem, mengusap layar ponsel dan meletakkannya di kuping kiri. "Halo, Mam," sapa Bia sesaat lalu menguap lagi.
"Teteh? Ih, lama banget bangunnya."
Bia ingin langsung menjawab, namun lagi-lagi ia menguap. "Aduh, Mam, kenapa, sih? Ini masih jam enam lewat lima belas pagi, Bia ngantuk."
"Iya-iya," turut mamanya merasa tidak enak. "Yaudah sana Teteh buka pintu dulu, ada tamu."
"HAH? TAMU APAAN, SIH, MAM?"
"Di depan pintu kamu ada tamu, Teh, ada paket dari Mama."
"Tamu apaan? Paket apaan?" Bia kini bangkit dari tidurnya, menggaruk kepala yang tidak gatal sehingga keadaan rambutnya semakin menyerupai singa galak. "Mama ngirim apaan, sih, buat Bia?"
"Banyak," jawab mamanya cepat, "makanya Teteh cek buruan."
"Yaudah suruh kurirnya tinggalin di depan pintu aja, nanti Bia ambil."
"Teteh!"
"Apalagi, Mam? Bia ngantuk banget, lho."
"Iya makanya turun dulu, ambil paketnya, terus bilang makasih ke yang anter."
"Kenapa repot-repot bilang makasih, sih, Mam? Bia ngantuk, dia juga pasti mau cepet-cepet nganterin paket ke yang lain. Mama aja yang nyampein makasih."
"Nggak," tanggap sang mama terdengar yakin. "Dia cuma nganterin paketnya ke Teteh."
"Siapa?" tanya Bia curiga, "yang nganterin paketnya siapa?"
"Makanya Teteh liat sendiri, sana intip jendela, liat siapa yang nganterin paketnya."
Nyokap gue kenapa, sih, batin Bia menahan sabar. Dia buru-buru pergi ke jendela flat, mencari tahu siapa orang yang dikirim oleh mamanya sehingga membuat keributan pagi-pagi begini.
"Udah belum?" Bia terlonjak, dia lupa bahwa panggilan itu masih terhubung.
"Sabar," balas Bia jutek.
"Buruan, Teh, kasian dia nungguin dari jam 6 di depan pintu kamu." Bia mengedikkan bahu tanda tidak peduli.
Baru hendak membuka jendela, Bia sontak terdiam di posisinya. Nyawa wanita itu sukses terkumpul di balik piyama hitam yang ia kenakan. Bia melirik sekitar, matanya melotot, sedang salivanya mendadak sulit ditelan. Astaga. Astaga. Astaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blooming Like a Rose [Abiana]
Romance• Abiana dan setangkai mawarnya • Bergulung dengan ombak adalah rintangan shahih ketika berenang di dalam samudera kehidupan. Bertahan atau menyerah bak persimpangan di ujung jalan, dan hak atas memilih ada dalam kendali akal sendiri. Menjadi kuat...