Dan Puan lupa, dia hanya akan menancapkan duri kala memeluk dan dipeluk orang lain. Semesta sudah bilang, "Jangan jadi mawar, jadi bunga lain saja. Untuk apa indah bila tidak bisa diberi dekap dan mendekap. Jangan jadi mawar, Puan, sebab Puan layak akan sebuah pelukan."
London hujan lagi, menyambung rintik malam lalu yang belum terbuang seluruhnya. Bia menatap jauh ke depan, seolah sepasang lentera cokelat muda itu bisa menembus suasana gelap mendung serta ribuan air yang menampar kaca mobil. Semakin jauh ia memandang, semakin dingin sesuatu di dalam dirinya. Penghangat mobil seolah tidak berfungsi sekalipun Amy tampak nyaman-nyaman saja dengan kehangatan yang tercipta. Wanita bule itu sedang fokus menyetir mobil, tidak tahu bahwa penumpang di sebelahnya sedang menciptakan bualan semu di dalam kepalanya.
Hujan membuatnya ingat Isaac, sesederhana itu saja alasannya. Bia bilang pada Isaac, bahwa hanya ketika hujan dia berani menangis untuk pria itu. Bia bersumpah bahwa hampir setiap hari dia ingin menangis, menumpahkan seluruh lara hati yang tersiksa karena tidak bisa merelakan Isaac pergi.
"Jangan nangis, Abiana, selama aku yang jadi alasannya, kamu nggak pernah boleh nangis." Maka sekuat tenaga, demi Isaac, Bia menyanggupinya walau beberapa kali dia melanggar.
Hidup sudah sulit, menyiksa, mencekik, sangat disayangkan bila hanya dibawa merengek dengan ribuan tetes air mata. Bia tahu Isaac bisa saja pergi besok, atau lusa, atau sehari setelah lusa. Tidak pasti kapannya sebab keberangkatan pria itu menuju dimensi berbeda persis bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Maka dari itu dia tidak mau menangis, dia tidak mau menunjukkan lengkung sabit menyedihkan di depan Isaac.
Seperti kata Isaac, mereka harus abadi dalam kebahagiaan, harus menyambut segala kejutan semesta dengan suka cita. Atas ketahuan mereka terhadap waktu yang tidak lagi seberapa, maka sudah sepantasnya mereka hidup berbahagia. Menikmati hidup sebaiknya sebagai manusia. Kita memang tidak berdaya atas satu takdir bernama kematian, sudah begitu sabda Tuhan. Namun memilih seperti apa kita menyambut kematian, segala jenis pena kita yang pegang dan silahkan toreh coretan apa saja.
Maka dari itu, Bia dan Isaac menuliskan hal terbaik bagi mereka, "Di tengah ketidak tahuan kita atas hari esokーyang barangkali bukan milik kitaーmari berbahagia sebaik-baiknya. Air mata hanya akan sia apabila jatuh sekarang. Simpanlah, simpan sampai saatnya tiba. Untuk sekarang, biarkan semesta tahu bahwa kita sedang berbahagia karena diciptakan sebagai manusia yang sepasang irisnya masih mampu untuk saling bertukar pandang."
Ketika takdir menyuarakan berita perpisahan, lantas menangislah. Menangislah atas jam keberangkatan kereta yang berbeda. Menangislah untuk kepergian orang tersayang yang sudah berjuang untuk terus berbahagia. Menangislah untuk kisah yang sudah menyentuh ujung benang merah, bersua tamat di ujung telaga. Namun kisah itu tidak sia, hanya sedang berpindah tempat agar kembali dimulai untuk kali kedua.
Bia mencengkeram ujung baju rajut yang dipakainya, tersadar bahwa satu tetes air mata meluncur sempurna di pipi sebelah kiri. Tangannya sigap menyeka, kemudian memperbaiki duduk. Amy akan mengomel lagi kalau tahu dirinya masih menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blooming Like a Rose [Abiana]
Romance• Abiana dan setangkai mawarnya • Bergulung dengan ombak adalah rintangan shahih ketika berenang di dalam samudera kehidupan. Bertahan atau menyerah bak persimpangan di ujung jalan, dan hak atas memilih ada dalam kendali akal sendiri. Menjadi kuat...