London, Oktober tahun lalu.
"Kau harus menunjukkan kesedihan itu lewat kedua iris matamu." Robert mengangkat kedua tangannya dan membingkai wajah Bia dari jarak tiga puluh senti. "Pakaian dan karismamu seakan menikah hari ini, Bia, mereka terlihat serasi. Jadi pastikan untuk berbicara pada lensaku lewat iris indahmu. Tunjukkan segala bentuk kesedihan itu."
Bia mengangguk dengan hati-hati karena beberapa stylists sedang mengatur penampilannya. "Haruskah aku membuatnya lebih tajam?"
"Tidak," tolak Robert. "Kau harus menunjukkan sisi mendung dan putus asa, dan jangan terlihat tajam. Kali ini, kau tidak perlu mengintimidasi lensaku, Bia."
Tawa Bia terdengar, namun buru-buru menutup mulut atau penampilannya akan rusak. Dia mengangkat ibu jari pada Robert, kemudian mulai bersiap di posisinya ketika para stylists mulai meninggalkannya. Bia mulai mengatur ekspresi, menatap lensa kamera di depan lekat-lekat. Seakan ada sosok jahat yang sudah menghancurkan hidupnya, merubah dunianya menjadi mendung, dan menumbuhkan luka di sekujur tubuhnya. Kedua bibir Bia terkatup, tiada senyuman yang terlukis di wajah dengan make up pale tersebut.
Pakaian serba hitam yang Bia kenakan sukses membingkai ekspresi kesedihan itu dengan sempurna. Ini masih pakaian pertama, kaus hitam turtle neck dipadu dengan celana kain yang memeluk indah kaki panjang model cantik itu. Sepasang sepatu kulit warna putih yang dikenakannya menjadi pemanis dari gelapnya dunia atas. Pada pose berdiri, Bia tidak banyak menggerakkan badan, hanya bergerak sedikit demi sedikit. Dia nyaman membuat pose sesuai naluri sembari sesekali mendengar teriakan Robert memberi arahan.
"Wonderful, Bia! Nah begitu! Mari kita lakukan sekali lagi. Tunjukkan kesedihan lewat kedua mata itu! Bagus! Astaga, pertahankan!" Robert menekan tombol kamera untuk kali terakhir, kemudian menjauhkan kamera dari matanya. Sesi pertama itu selesai dengan cukup baik.
Bia duduk untuk pengambilan gambar sesi dua. Beberapa stylists masuk untuk mengecek sebentar penampilan Bia, memberikannya payung putih sebagai properti, dan salah seorang meminta Bia melepaskan satu sepatunya. Wanita itu kembali fokus pada lensa karena Robert juga sudah bersiap. Diangkatnya payung, lalu memiringkan kepala dengan ekspresi menyedihkan yang belum berubah. Satu kaki Bia yang telanjang seakan memberi kesan kepasrahan pada hujan di musim gugur. 'Sekalipun pasangan sepatu itu menghilang, setidaknya masih ada kehangatan dari pakaian dan keteduhan dari kelopak payungnya.'
Park Hae Hyeon, lebih akrab disapa sebagai Designer Park, wanita paruh baya asal Korea Selatan itu menjadikan tema gloomy untuk menemani bulan terakhir musim gugur. Jadi seluruh pakaian akan mulai dikeluarkan pada bulan November nanti. Dan Bia menjadi salah satu dari beberapa model yang menjadi 'wajah' dari hasil karya sang designer, walaupun bukan gambar dirinya yang akan memenuhi cover majalah, melainkan Anette. Ya semoga saja, ada kesempatan di lain hari untuk Bia.
• r o s é •
Satu jam berlalu dan kini Bia sedang menyesap kopinya di kursi santai, menggulir layar ponsel sembari menunggu diskusi Amy dan beberapa staff selesai. Pemotretan baru saja usai, jauh lebih cepat dari perkiraannya. Syukurlah, dengan begitu Bia bisa berolahraga dan berisitirahat lebih awal malam ini. Selama seminggu di Manchester, Bia mana sempat berlari, paling hanya olahraga di ruang gym hotel. Bahkan kemarin setelah makan di restoran bersama Isaac, Bia sama sekali tidak berolahraga dan langsung tidur di malam hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blooming Like a Rose [Abiana]
Romance• Abiana dan setangkai mawarnya • Bergulung dengan ombak adalah rintangan shahih ketika berenang di dalam samudera kehidupan. Bertahan atau menyerah bak persimpangan di ujung jalan, dan hak atas memilih ada dalam kendali akal sendiri. Menjadi kuat...