PUISI-PUISI YANG BELUM DIKIRIMKAN PADAMU

0 0 0
                                    

Mungkin kamu baru tahu sekarang bahwa puisi-puisi yang aku buat sebenarnya banyak terinspirasi darimu. Oh iya? Mari kita cek di buku kumpulan puisiku yang telah diterbitkan sebanyak lima judul. Loh, mana bukunya? Ya, masih di toko lah, sebagian sudah di rak buku kamarku, apa perlu aku bawa ke sini puisinya? Jangan ah, pembaca kita kebanyakan penderita melankolia. Apa itu? Itu lho, penyakit jaman sekarang; baperan akan sajak sederhanaku, nggak kayak kamu, neng geulisss ... Heuheuheu.
---

Engkau pergi, tinggalkan jejak-jejak di kepalaku. Aku terlarut dalam kata-kata, sehingga puitisme ini meluluhkan sejuta lara. Dan aku ingin engkau tahu, ada seseorang yang benar-benar mencintai, walaupun takdir untuk menyatu tak mendapat restu, walau saling mendekap, kita tak pernah bisa merealisasikan satu atap. Mungkin, itulah hidup, bagaimana kita menyikapi dengan bijak, mensyukuri dengan baik, hingga mempertahankan rasa yang harusnya mengepal menjadi bersabar kepada siapapun.
Anehnya, kita hanya seorang sahabat, sampai menganggapnya adalah saudara perempuanku. Maaf, aku terlalu tenggelam dalam kedewasaan dan kerewelannya ketika aku tak baik-baik saja. Mungkin kita bisa lebih merdeka dan saling memaknai setiap perjalanan hidup masing-masing. Namun, perlu kita sadari, sepucuk cinta, segenggam puisi sampai penghargaan yang sudah kita kumpulkan sebenarnya hanya perlambang bahwa kita pernah menyatu dan terus-menerus menjadi satu. Disitulah aku menemukan ada satu titik yang menarik untuk dicantumkan menjadi sebuah catatan terang.
Semisal, kita sama-sama meraih kebaikan dan keterbaikan, kita sering berada di jalur yang sama dan juga dalam proses yang sama, walaupun secara historis aku yang memulainya dahulu. Seakan-akan kita dipersatukan dengan dua cabang dari satu keindahan yang kita jalankan. Semestinya, ketika ada dua orang sedang berjalan di jalan terang, akan ada petunjuk untuk mengarahkan titik temu kepada mereka, namun berbeda bagi kita, terlalu berjalan dalam titik sesat dan curam bagi mereka yang belum menginjak keindahan. Jalanan gelap pun pernah kita rasakan, ratapan-ratapan yang membuat nyali kita turun pun dialami dengan begitu dekatnya, itupun hanya sekali.
Namun, nyatanya kita menemukan diri kita masing-masing. Dari proses yang panjang hingga penuh perjuangan, akhirnya kita sampai di puncak yang kita dambakan; pertemuan yang disengaja. Jalanan sepi nan gelap, lorong-lorong yang dipenuhi guratan alam sadar pun turut mengiringi dan membuahkan pikiran bahwa kemenangan kecil kita telah berhasil diraih. Sebuah titik terang bahwa kita benar-benar sedang menyatukan diri kita, menurut saya sendiri, apa sih yang dinamakan pertemuan? Bukankah hanya menampilkan pulang dan pergi? Seakan-akan kita mengitari halaman buku ini sampai ke titik awal? Mungkinkah kita merasakan keasyikan memaknai, atau justru kita akan tenggelam dan tak bisa kembali?
Tampung, jangan sampai kata-kata itu lolos dari tampangmu yang anggun dan bersahaja. Coba kau sadari ketika kita terus saling bertemu, kapan kita menabung sekantong rindu? Untuk apa kita menanggalkan kata pulang dan pergi, ketika rindu itu tiada? Kata-kata itu jangan jadikan patokanmu sebagai tanda bahwa kita harus bertemu dan berpisah. Kita hanya berjarak, kasih, perpisahan hanya mendatangkan pedih, kepulangan akan mendatangkan rasa rindu, dan kita satukan rasa itu ketika saling dekap dan sapa. Bukankah itu indah? Mengesankan, bukan?
Tak perlu kau tangisi ketika lambat bertemu, atau bahkan pertemuan yang direncanakan semakin mundur. Ingat, jarak dan perjalanan adalah satu usaha menahan, pencarian tempat adalah usaha menemukan, dan saling mengabari adalah usaha untuk menebar kasih sayang. Tenang saja, semuanya adalah usaha kita untuk saling menyatu. Tetaplah berbahagia menjalani, teruslah bahagia sampai dirimu sendiri yang diselimuti rasa bahagia itu.
Pelepasan kerinduan kita sebenarnya sederhana, duduk di antara deretan buku, menikmati mendung dan angin di pusat kota sampai berbalas puisi. Namun, terlalu banyak puisi yang kukirim hingga tak mampu kau tampung dalam pikiranmu. Dan aku bilang sebaiknya kita menebar semuanya, atau bila perlu satukan dan letakkan di deretan buku yang ternama. Kala iti, kita memimpikan hal iti benar terjadi, ketika nama kita terpampang di sebuah catatan yang menampilkan kisah indah persahabatan kita, selebihnya adalah perasaan kita yang selalu tercurahkan. Sungguh, aku ingin segera, dan kita akan selalu berbahagia.
Puisi-puisi yang kita rangkai, sajak sederhana yang selalu kita lontarkan, adalah sebagian dari penjiwaan kita terhadap kehendak Tuhan yang telah mempertemukan kita secara terstruktur. Bahkan, aku merasakan berbagai banyak hal dan pelajaran hidup darimu, bahwa hidup adalah mewarnai bukan menodai, hidup hanyalah sebuah catatan kosong yang harus kita isi, dan kehidupan adalah berbagai kata yang mesti kita temukan dan padukan. Dan kita perlahan berusaha melengkapkan rangkaian kata itu menjadi sebuah pengakuan kebesaran-Nya dan pensyukuran yang tinggi.
Kau adalah segala curahku, adalah segala yang aku harapkan dan kudamba. Segala kebaikanmu adalah segala kekuranganku yang berangsur pulih. Semesta telah menciptakan harmoni, bagi kita yang selalu mendamba padu kasih yang sejati. Kita ikrarkan bersama, bahwa kita bukanlah sepasang romansa yang tak direstui semesta, namun kita adalah sepasang kata yang merangkaikan sebuah arti kehidupan yang lebih bermakna; cinta dan bahagia.
Kebahagiaan itu berlanjut sampai pohon-pohon yang semula menyelimutiku runtuh, angin-angin yang mulai gugur, hingga guratan indah di cakrawala mulai menurunkan kemasyhurannya. Bahkan tak hanya sampai pada sepucuk kata, tetapi sudah tampak dalam persemayaman sunyi. Aku memang bukan seorang yang mudah merasakan cinta, setelah tragedi mengenaskan yang berlangsung mencekam, kini rumah yang aku dambakan ternyata masih ada. Walaupun ratusan kilometer jaraknya, demi apapun aku akan menempuh.
Semoga saja, dan tersemogakan. Puisi-puisi harianku akan menyertai kebahagiaan yang aku susun secara nyata dan faktual. Bait-bait tentang dirimu adalah kriminalitas paling sempurna yang aku nantikan, dan kulakukan demi mematahkan negatifmu. Sepucuk baris yang berjumlah jutaan pun hanyalah seonggok tombak untuk menumpaskan segala yang mendekatimu, dan itu sebuah kekejaman yang sangat fatal, tetapi aku menyukai hal itu karena dosa yang menyenangkan adalah menaklukkan hatimu hingga tak akan sanggup kulepas. Saat bersamamu, saat di aplikasi ponsel, sampai saat bertemu di kelas kepenulisan yang isinya itu-itu saja, bagi kita adalah dualitas yang saling meretas otak mereka, bahwa persahabatan bukan sekadar sahabat, melainkan rumah menabur cinta.
---
"Ketatnya pertandingan antara cinta dan PDKT, membuat saya tak bisa membedakan mana ketulusan cinta yang hakiki dan kelulusan memaksa yang menggunakan magis imaji."

BENTANG DAN GURATANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang