RUANG BERCERITA #1

4 0 0
                                    

"Pengalaman terbaik dalam hidup adalah tidak mengalami hal baik. Pengalaman terburuk dalam hidup adalah tidak mengerti apa itu hal baik. Tapi, di sisi lain kita punya akal dan imajinasi untuk mengolah semua itu dengan sempurna."

---

Melompat lebih jauh, dari bulan ke-9 dari dua tahun silam membuatku mengerti arti kehidupan. Ternyata tidak seburuk yang ada di film penuh drama dan bahkan tak seindah pula yang ada di film romansa. Semuanya asyik, ketika kita mampu untuk mengolahnya dengan teliti dan seksama. Tidak perlu saintis untuk hidup, tidak perlu terlalu pintar dalam teori untuk berdiri di bumi, yang nyatanya kehidupan hanya membutuhkan cinta, kasih sayang dan kebaikan yang terus ditumbuhkan.

Sekolah dan kampus mengajarkan teorinya, lingkungan membentuk perilaku dan isi hatinya, keluarga hanya membantu mengembangkan apa yang sudah didapatnya. Dan selama ini kita membolak-balikkan siklus hidup kita sendiri demi ambisi duniawi dan reputasi yang membelenggukan kita. Apa untungnya kita pintar dalam matematika, jika tak mampu memberikan yang terbaik minimal untuk kita sendiri? Apa hebatnya seorang sastrawan atau ilmuwan memiliki banyak riset dan hasil studi karya tetapi hanya dimakan sendiri dan untuk menghempaskan orang lain? Apa sempurnanya reputasi orang besar penuh arti, tetapi hanya untuk mengalihkan isu dan berbasa-basi? Cobalah kita sejenak hempaskan badan dengan keadaan yang tak biasa, dan coba rasakan apa yang ada di dalam dirimu, aliran darahmu, detak jantungmu, hela napasmu, semuanya diatur secara baik dan kita tak berhak menggerakkan itu.

Artinya, semuanya adalah rahasia yang menciptakan kita semua. Tetapi, kita dibutakan oleh aling-aling kita sendiri, yang dibuat-buat untuk menuntaskan nafsu belaka dan hormon kepuasan kita. Apakah kita tidak kejam dengan diri kita sendiri demi tepuk tangan dan uang?

Kalau saja kita bisa bertatap sejenak dan mengartikan rahasia hidup, maka kita akan merdeka dengan sejati. Kalau saja kita masih ingat dengan alam semesta yang mencintai kita, maka kita hanya melakukan kebaikan dan merawat kesalihan hidup di dunia ini. Bukankah kita mendapat tugas dari Tuhan? Bukankah Tuhan sudah terlalu setia mencintai kita dan kita malah lupa dengan belenggu dunia? Maha Cinta tak pernah cemburu, tetapi Maha Cinta hanya mengingatkan kita untuk selalu ingat Dia.

***

Masih kau ingat ketika kita masih dirundung pilu, sampai kita tak tahu jalan pulang? Bahkan, pelukan demi pelukan semakin terlepas dan nestapa pun menjemput kita dengan uluran tangannya yang semu. Senyum manis yang kian memudar, seakan memberi tanda bahwa kita tak akan menjadi kita. Hanya nyanyianmu yang merdu dan puisiku yang selalu menuntas rindu, apalah daya ketika kita mengering dan tiada yang membasuh?

Air mata menjadi sarapan di malam hari, kala kita hanya saling menatap swafoto di beberapa kota yang kita sambangi. Air mata menjadi hujan bagi tumbuhan yang terus menemani kita di kamarmu dan lotengku yang kusam tak terurus. Aku dan kamu hanya menuliskan berapa banyak kenangan yang harus ditumpahkan ke dalam kertas buram nan lusuh, yang akhirnya menjadi asupan untuk menyisihkan malam dan siang untuk beradu rindu.

Takkan ada kerinduan berarti, takkan ada saling merasa bahwa itulah jodohku. Tiada lagi duduk berdua dan bergandengan tangan. Tiada lagi semoga-semoga yang kita ucapkan tiap malam, dan tiada pula pelukan hangat yang mengiringi kesedihan dan kebahagiaan kita berdua. Maka mulailah merelakan kemenangan kita yang terakhir kali, kalau katamu dulu yang masih terngiang, kita awali dengan baik harusnya kita akhiri dengan baik. Dan kau menemukannya kembali, sementara aku masih berkutat dengan kata yang tak sanggup aku jadikan sebuah memoar hidup ini.

Teramat panjang, teramat luas dan teramat banyak sampai detik ini aku masih mengingatnya. Bahkan tak hanya tentang dirimu, tentang pasca merelakan adalah hal terberat dan terus-menerus melawan kepiluan yang membombardir jiwa ini. Kita memang tak pernah sakit hati, kalau bukan kita yang memulai dan mengakhiri. Dan nyatanya kita berakhir.

***

Nol koma tujuh delapan. Terlalu sempit menghitung berbagai dosa yang telah tersedia di memori otak dan hati kita. Artinya, kita tak selalu tahu kita ini siapa, dosa apa yang membuat kita lupa bahwa kita ini manusia. Sepenggal kisah telah berlalu, cobalah kita untuk mempelajari satu hal saja agar hidup merdeka kita mudah untuk diraih; merelakan kemenangan.

Kemenangan demi kemenangan yang kita gapai dan usahakan, hanya menjadi pajangan di dinding kamar dan menjadi sebuah benih kesombongan. Dimana yang terjadi berkali-kali adalah menyombongkan bahwa kitalah lebih baik, kitalah yang berturut-turut memenangkan laga, kitalah yang berkuasa, overpositif yang seperti itu ternyata menimbulkan satu kesombongan yang nantinya akan dikembalikan kepada pemilik rumah.

Tujuh satu tujuh. Angka saat ini yang menjadi patokanku, menjadi penutup untuk wejangan hari ini. Kisahku hanyalah kisah nyata yang terlalu fiksi untuk diceritakan, puisiku hanya mengembalikan tubuhnya yang gusar untuk kembali menjadi terang. Tumbuhbesarlah kebaikan dalam hidup, dan matilah dengan keadaan hidup di dunia.

°°°
"Bolehkah kita saling menguji keistimewaan masing-masing, agar aku mampu menghilangkan kesempurnaan dan kemegahan hidup yang mematikan jiwa dan akalku secara dramatis. Pulanglah, kawan. Ambil sedikit air untuk kita berpadu mesra di pelataran rumah kita, dan bawalah kebahagiaan yang terus disulam dan menjadi penghangat di kala panas dan dingin."
°°°

BENTANG DAN GURATANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang