SEDIKIT TEORI, TERLALU BANYAK APRIORI

0 0 0
                                    

Masa kesunyian di pertengahan tahun 2019,
Mungkin aku termasuk orang yang kejam kepada dunia, sampai tak mau lagi mempercayai apapun di dunia, terutama pada atasan yang tak pernah bertanggungjawab. Kerjanya ledha-ledhe, kalau soal perekonomian individualis sangat dimaksimalkan dengan sematang-matangnya.
Mungkin juga aku adalah orang yang sangat kanibal. Ketidakpercayaan kepada manusia membuat duniaku semakin sempit dan hanya bersifat membosankan dan memaksa, seakan-akan hidup cuma tumpangan untuk melompat ke pelukan Tuhan. Mestinya pula, tak perlu ada halangan apapun ketika manusia perlu memeluk Tuhan, biarkan sajalah, tak usah memerlukan banyak syarat seperti lomba parut dompet Bang Kumis.

Dan, mungkin juga aku adalah seorang yang sering mengeluarkan pernyataan ketidakpercayaan atas kebenaran yang sering dilontarkan. Ketika itu, pada saat masih tahap ngedan-ngedannya, terlalu banyak omongan yang mengklaim firman Tuhan. Saking sucinya, sampai aku tak mau mendengarkan lagu dan menulis surat pernyataan beserta sanggahan yang pedasnya melebihi ocehannya. Pernah ada yang sampai meluapkan emosi dengan bendera perang, adapula hanya sekadar menghadang untuk membunuh, dan juga berbagai kebijakan-kebijakan yang dibuat seenaknya. Terlihat jelas bahwa masyarakat kita masih sangat baper sebelum kata 'baper' itu sendiri muncul, dikit-dikit saling siku, saling menendang ke neraka, saling membanggakan bahwa kebenaran adalah haq miliknya, bukan milik-Nya. Heuheuheu ... Surat sakti akan lebih sering menyakiti pikiran dan hatinya yang sunyi dengan kemerdekaan serta apriori.
Sebelumnya pula, perkenalkan aku adalah manusia. Kemerdekaan adalah nomor satu, yang penciptaannya dimuliakan oleh Tuhan dan aku berkewajiban untuk menjaga dan menggunakan secara bebas teratur dan juga mencari kebenaran-Mu. Ya Tuhan, tunjukkanlah aku lorong gelap, asal Engkau berada di sampingku.

Terlalu banyak magis sebenarnya ketika aku sendiri mengemukakan pendapat kepada mereka yang tak paham-paham soal kepluralan dan kebebasan pendapat. Sepertinya mereka hanya ingin kebenaran yang haq adalah tetap milik Tuhan, dan manusia berhak mengikuti. Padahal sebenarnya kalau kita gali lebih lanjut, manusia berhak mendapat kebebasan hidup dan berpikir, kenapa manusia seolah-olah ingin berkuasa atas manusia yang berbeda dengan mereka, seperti mereka ingin menjadi Tuhan kedua, toh Tuhan agama lain pun tak memaksakan diri untuk diakui sebagai Tuhan. Benar adanya sekarang di zaman yang mulai kelihatan boroknya; "Saat sunyi, mencari Tuhan. Saat memiliki massa, menjadi Tuhan."

Itulah perbedaan mereka dengan aku yang selalu menyendiri di balik penindasan pada jiwaku. Semoga saja tak ada yang semakin bobrok apalagi runtuh manusia yang utuh; insan kamil wa mahabbah.
---
Perkiraan yang meleset. Benih-benih kebencian. Teori yang keliru, sampai ketidaktahuan terhadap romantisme dan humanisme. Satu hal yang selalu kita dambakan adalah kedamaian, tetapi hal itu tidak bisa terjadi secara maksimal ketika kita hanya menyuarakannya saja. Perlu adanya gerakan yang terstruktur secara sederhana, misalnya one-on-one atau group by group. Namun, masalahnya, orang-orang di era sekarang masih minim kepercayaan atas kebenaran yang terstruktur, mereka selalu bilang bahwa yang instan adalah yang terbaik. Ini seperti teori Revolusi Barat yang terdapat dalam Teknologi Industri. Mindset seperti itu banyak terjadi di kalangan para pemikir yang menginginkan kerja ringan dan cepat. Uniknya, pemikiran seperti itu masuk kepada aspek pemikiran kehidupan, dimana orang akan senang dengan cara kerja berpikir yang cepat. Bukankah ini justru membahayakan? Keuntungan yang didapat malah tidak ada, karena untuk memikirkan sesuatu yang harus dilakukan tidak bisa dengan satu-dua kali, perlu adanya perencanaan, kerangka, prospek, pelaksanaan dan evaluasi. Kalau sebuah mindset instanly tersebut menguasai lingkungan kita, betapa bahayanya yang akan kita terima dampaknya.

Sejatinya permainan pikiran dapat membahayakan seluruh aspek yang    mengelilinya, terlebih jika pemikiran tersebut melampaui batas dan akhirnya malah menjadi kerusakan di lingkungannya. Inilah yang sedang terjadi saat ini, ketika pemikiran sosial, budaya, ekonomi, politik serta religius menyatakan bahwa pemikiran harus bersifat inkomunikatif dan personal-instan, maka yang terjadi adalah isu-isu yang tidak mementingkan segala etika untuk menyerang orang yang telah diisukan. Banyak sekali beredar hal-hal seperti ini, bisa dipastikan swmuanya merambat ke seluruh penjuru yang tak bisa dibendung dengan satu objek. Semuanya serba cepat sampai kejahatan pun kini makin marak. Semuanya seperti sekumpulan bit yang termakan virus, seperti rerumputan yang dibakar tetapi diisukan terbakar. Lah, semuanya ono-ono wae pokoknya, tentu kita seperti dihalangi oleh kenakalan-kenakalan dunia yang terus menggerus pikiran kita bahwa kita layak untuk diperbudak oleh waktu dan ruang yang dirancang sedemikiran rupa. Kuncinya adalah jenaka-jenaka yang terencana itu harus kita bendung dan dilawan, bukan kita tertawan kemudian menjadi pion-pion yang diharuskan memainkan peran yang mereka inginkan.

Semuanya semu, mengerikan, dan meyakinkan bahwa ini
bendera merah, tak ada lagi bendera putih. Apakah kita harus berdiri tegak menumpas kehinaan dan ketidakwarasan yang membuat kita semakin tidak waras? Bagiku, kita harus memerdekakan diri dan semua orang terhadap pikiran-pikiran yang membahayakan.

Bahkan, ketika mereka saling beradu argumen selalu saja kritik yang diberikan, tanpa ada langkah nyata yang harus direalisasikan. Semestinya, perubahan ke arah kemajuan tak mencinta menghancurkan daya pikir manusia dan perasaan jiwa. Barangkali dengan kita berpikir realistis dan kreatif-analitik, bisa saja kita menyelamatkan jutaan jiwa yang tertindas oleh zaman yang terlalu cepat dan mematikan pemikiran yang tak penting sekali, misalkan seperti harus mengikuti zaman yang serba teknologi.
Tunggu dulu, mampukah kita bersaing dengan sehat? Biasanya, persaingan seperti itu hanya bersikap menjatuhkan dan membunuh satu sama lain. Artinya, ada banyak objek yang terus digerus untuk kepentingan duniawi. Selalu saja tentang keeusakan, kebakaran, eksploitasi dan penggerusan ideologi. Hanya itu saja yang selalu jadi incaran, seakan dunia adalah tempat memuaskan nafsu birahi, dunia seperti perempuan yang harus ditelanjangi oleh orang-orang yang membutuhkan uang. Bukannya kita menjadi manusia yang menjaga dunia? Bukannya kita menjadi pribadi yang mengedepankan kedamaian dan kelestarian alam, supaya generasi ke depan dapat merasakan nikmatnya dunia? Ah, semuanya seperti tikus yang kebanjiran. Menyalahkan tanpa tindakan, banyak bual tanpa aksi nyata. Sedikit teori, banyak apriori.

BENTANG DAN GURATANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang