𝔻ℙ [06] || 1.0 n 2.0

228 71 130
                                    

Tidak ada tempat bersandar, berbagi cerita, ataupun penyemangat.

Gea berdiri kaku di ambang pintu rumahnya. Baru saja ia akan melepas penat, tiba-tiba ia dikejutkan dengan keberadaan mamanya yang sedang duduk di kursi ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Seketika ia tersenyum, walau cairan bening itu keluar dengan paksa dari kedua manik matanya. Ia menangis, dalam haru.

"Mama," cicit Gea lirih. Ia pun mengakhiri kebekuannya dan segera berjalan kearah Sang Mama berada.

Sedangkan wanita dengan umur kisaran kepala empat itu menoleh ketika Gea memanggilnya. Ia menyibakkan rambut panjangnya yang lurus. Menepuk celana jeans panjangnya yang seakan tertempel ribuan debu. Lalu menatap Gea tanpa ekspresi.

Gea tersenyum seraya menatap netra mamanya yang seakan kelabu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gea tersenyum seraya menatap netra mamanya yang seakan kelabu. "Mama kesini mau jengukin Gea?" tanya Gea sekedar untuk berbahasa, walau tetap akan terdengar basi di telinga mamanya. Ya, intinya hanya untuk berbahasa-basi. Lagian ia juga sudah tahu apa respon mamanya terhadap pertanyaan konyol tesebut.

"Jangan harap saya mau jengukin seorang pembunuh!" Dugaan Gea benar, bukan sekali mamanya datang ke rumah dan melontarkan kalimat-kalimat yang membuat Gea sakit. Tapi, ini lebih sakit dari biasanya. Karena, dia bukan pembunuh.

Kini senyuman Gea pudar, sementara air mata itu tetap mengalir. Bahkan semakin deras. "Ma... Bukan Gea yang membunuh Papa Queena. Tapi, Queena sendiri yang membunuh papanya," tutur Gea dengan lirih.

"Terus, kamu pikir saya percaya? Mana ada seorang anak tega membunuh papanya sendiri. Saya masih punya logika untuk berpikir! Jadi, tipuan kamu itu tidak akan berlaku untuk saya, " elak mama Gea yang bernama Kirana.

Gea menghembuskan nafasnya. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan agar air bening itu tidak semakin deras untuk mengalir. Namun tetap tidak bisa, karena kini bukan hanya air matanya yang mengalir semakin deras. Namun, kini gadis itu juga sesegukan.

Ia selalu lemah di hadapan mamanya.

Gadis itu menarik nafas sebelum melontarkan kalimat yang tak akan ia sesali. "Terserah mama mau percaya sama Gea atau nggak, yang penting apa yang Gea katakan itu yang terjadi sebenarnya. Gea capek ma," ucap Gea parau. Dan akhirnya ia berkata 'capek', setelah dua tahun ia berusaha untuk sabar dan tegar.

"Dan saya tidak akan percaya," balas Kirana yang membuat Gea tersenyum getir di tempatnya.

"Terserah ma, terserah. Gea udah capek, Gea udah muak dengan kelakuan mama selama ini. Pulang sebulan sekali dengan alasan sibuk bekerja, padahal pekerjaan mama nggak jelas!" jerit Gea yang membuat amarah Kirana kian meledak.

DEVIL'S PUZZLE✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang