𝔻ℙ [20] || Transmigrasi Jiwa.

98 26 16
                                    

Pertanyaan pertama, apakah ia akan membenci raga Dirgha yang sudah terisi jiwa lain?


"Nggak!"

Suara lengkingan seorang gadis yang tengah bangun dari mimpinya. Napasnya memburu dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Ia meremat sprei kasurnya erat. Rambut yang acak-acakan dengan netra yang menyorotkan ketakutan. Serta wajahnya yang sudah berubah pucat. Dan bibirnya yang bergetar menambah kesan tertekan.

Bila semua orang selalu bersyukur bahwasanya kejadian buruk ternyata hanyalah mimpi, namun tidak dengan Gea saat ini. Entah mengapa ia malah menjadi lebih takut seakan kejadian tadi benar-benar nyata. "Queena dan si jubah hitam. Kavindra? Siapa dia?" gumamnya dengan menggigit bibir dan mengeratkan rematan pada spreinya. Bukan berpikir apa-apa, tetapi belakangan ini mimipi sudah menjadi sebuah petunjuk untuk masalah teka-teki itu.

"Apa maksud Queena mau—" gumamnya tertahan karena tiba-tiba ia merasa merinding. Tangannya mengusap belakang lehernya. Suasananya seakan berbeda dari sebelumnya. Dilihat, kakinya merinding dan menjadi terlihat sangat putih. Ditambah hawa dingin yang menelisik setiap jengkal kulit tubuhnya.

Tanpa di duga, jendela kamarnya terbuka dengan sendirinya. Padahal tak ada angin yang menerpa malam itu. "Si- siapa?" tanyanya dengan bibir yang bergetar karena saking takutnya. Apakah ada perampok di luar sana? Ah, mana mungkin perampok menghabiskan waktunya ke rumah kecil ini.

"Aku harap kamu masih mengingat ku."

Suara itu membuat bulu kuduk Gea kian merinding. Suaranya terdengar samar namun menggema di seluruh ruangan. Ia mengedarkan pandangannya, dan nihil ia tak menemukan siapa pun di tempat itu. "Ka-kau si siapa? Ko kok ngg—nggak ada?" Gea hampir tidak bisa  bicara. Bibirnya yang bergemetar membuatnya terbata-bata.

"Dia anak ku!"

"Hih, kau kan sundel bolong! Aku yang kuntilanak nya!"

"Aih, si bolong sama kunti rebutan tuyul mulu!"

"Hehh, diam kau!"

"Mana ada sejarahnya emaknya tuyul kuntilanak!"

Crasshhh

Sekiranya itu lah desas desus keributan yang tiba-tiba menggema di telinganya. Gea menutup telinganya yang terasa sakit akibat suara-suara aneh itu. Bagimana bisa ada suara-suara ramai itu? Ribut lagi. Membuat Gea ingin mencopot telinganya saja. Dan memasangnya lagi setelah suara itu lenyap.

"Jangan hiraukan mereka," itu seperti suara yang pertama kali ia dengar. Suara misterius yang berharap untuk tak dilupakan. Tapi jika Gea ingat, sepertinya suara itu terdengar familiar. Ia pernah mendengar suara itu sebelumnya.

"Sebelumnya, maafkan aku karena aku telah membuatmu mendengar yang tak seharusnya kamu dengar. Tapi ini juga demi kebaikanmu Ge."

Mendengar kalimat panjang itu, nafas Gea semakin memburu. Entah mengapa ia merasa kalau kamarnya jadi terkesan horor. Mungkin ia telah termanipulasi dengan beranggapan kalau ia tengah tidak sendirian di tempat itu. Itu membuatnya jadi berpikiran aneh dan kerja otaknya sangat kacau.

Gea menggigit bibir bawahnya. "Ma-maksunya? Ka-kau siapa?" Pernyataan yang sama masih ia lontarkan dengan sorot ketakutan dan yang kentara. Tangannya ia gunakan untuk memeluk kakinya yang tak bisa berhenti untuk bergetar.

"Tidak kah kamu ingat aku? Sahabatmu yang menghilang secara tidak wajar?"

Tiba-tiba terlintas satu nama di benak Gea. Tapi, apakah benar? Kalau memang benar, ia tak tahu harus merasa apa. Apakah ia akan tetap merasa ketakutan, atau malah merasa senang? Apakah ia harus benci dengan situasi atau senang karena situasi ini memberikannya kesempatan untuk bertanya banyak hal tentang Queena? Ah, Gea malah jadi bimbang sendiri.

DEVIL'S PUZZLE✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang