Cowok itu berlari dengan tergesa sampai-sampai kursi yang sedikit menyembul keluar dari meja semakin kacau berantakan karena ditabraknya.
Brakk!
Bocah dengan name tag 'Raflin Gawara' itu menggebrek meja Darel dan Brian. "Tumben rajin," cibir Afin dengan nafas yang masih memburu. Melonggarkan dasinya seraya berdecak karena tak mendapat respon dari keduanya.
"Heh, kalian tahu nggak? Tuh dukun yang tinggal di pojok hutan udah wafat!" lanjutnya kemudian. Mengeraskan suaranya agar didengar oleh semua anak kelas.
"Bahasa lo terlalu halus kawan..." ujar Alan yang tiba-tiba merangkul pundak Afin.
"Yaudah ralat! Heh, kalian tahu nggak? Tuh dukun yang tinggal di pojok hutan udah is deddd!" ralat Afin yang langsung mendapat anggukan dari Alan.
Sementara Brian sama Darel hanya diam dan masih berkutat dengan buku dan pulpennya. Hal itu membuat Afin dan Alan saling berpandangan dengan cengo.
"Kita tahu kalau lusa sudah Penilaian Akhir Tahun. Tapi, sumpah! Ini bukan Darel dan Brian yang kita kenal! Yang nggak Fin?" celetuk Alan. Menoleh ke arah Afin untuk meminta pendapat cowok itu.
"Ho'oh tuh! Apa jangan-jangan kalian kayak gini karena trauma dihukum minum air comberan sama Pak Roto waktu itu?" timpal Afin yang teringat akan tragedi mengenaskan yang menimpa Darel dan Brian.
"Woy! Jawab! Jangan bikin ngeri," sungut Alan. Mulai heran dengan tingkah keduanya.
Dan akhirnya pun Brian mendongakkan kepalanya. "Lusa udah Penilaian Akhir Tahun," ujarnya kemudian. Lalu berkutat kembali pada bukunya tanpa menghiraukan respon Alan yang sampai meminta Afin untuk mencubit hidungnya hanya untuk memastikan kalau ia tengah mimpi atau tidak.
Alan berjengit saat Afin mencubit hidungnya. Sedangkan Afin, cowok itu hanya berpura-pura muntah ketika baru tersadar kalau Alan tengah pilek. Melihat respon Afin, Alan hanya menyengir lalu melanjutkan kalimatnya. "Iyaa gue tahu. Tapi ya nggak gini amat juga! Tahun kemarin aja—"
"Pasti ada sesuatu di balik semua ini," potong Afin dengan raut sok misterius. Meremat buku Darel untuk mengusap ingus Alan yang membandel di telapak tangannya.
"Iye-iye! Kita udah tobat!" aku Brian dengan memutar kedua bola mata jengah, lalu kembali mengambil pulpennya dan mulai meringkas semua materi di buku paket ekonomi. Membuat kedua cowok yang berdiri di depan mejanya itu semakin mengernyitkan dahinya. Untung mereka masih bisa menahan agar tak berteriak heboh sambil jingkrak-jingkrak.
"Demi apa woy?!"
"Demi arwahnya Pak Karto—up!" Darel membekap mulut Brian sebelum cowok itu nyerocos lebih panjang.
"Demi Pak Roto maksudnya," tukas Darel.
"Oh." Alan hanya ber oh ria. Membuat Darel dan Brian bernafas lega karena Afin dan Alan langsung percaya. Setelah kedua biang bobrok itu diam, mereka langsung melanjutkan aksi menulisnya.
Semenit kemudian, kedua biang bobrok itu saling pandang lalu menggelak tawa bersamaan. "Nggak semudah itu kita percaya. Ya nggak Fin?" lanjut Alan setelah puas tertawa. Yang diikuti anggukan oleh Afin tentunya.
"Kasih tau apa susahnya sih. Barangkali kita bisa nyoba biar bisa tobat kayak kalian," timpal Afin yang memang dari dulu sudah kebelet pengen tobat. Tapi selalu gagal. Bahkan ia sudah mencari motivasi belajar dimana-mana.
Darel mendesah, kemudian angkat bicara. "Jadi tadi malam kita datang ke kuburannya Pak Karto. Tujuan awalnya sih cuma kepo, apakah kuburannya meledak atau banyak dirubung sama belatung. Kan hidupnya banyak dosa tuh. Ya intinya sama seperti yang ada di sinetron-sinetron azab itu loh! Lah bukannya tuh kuburan meledak atau sejenisnya, eh arwah Pak Karto yang nyembul keluar." Darel menghela.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEVIL'S PUZZLE✔️ [END]
Horror[COMPLETED] ʜᴜᴍᴏʀʀᴏᴜꜱ-ʜᴏʀʀᴏʀ||ꜰᴀɴᴛᴀꜱɪ-ʀᴇᴍᴀᴊᴀ Mencari konspirasi mengenai perubahan sikap Queena, sahabatnya membuat Gea terseret ke dalam lingkar teka-teki yang diciptakan jiwa tersesat yang ingin 'menuntut keadilan'. Bagi Gea, inilah yang akan menj...