Gabriel POV
Lagi, lagi, dan lagi. Gue bener-bener capek kalau harus di-spam telepon kayak gini.
Gue sampe berkali-kali ganti nomor demi menghindari spam telepon dari wanita itu. Dia bener-bener gak nyerah buat dapetin nomor gue walaupun dia harus sujut-sujut sama nyokab.
"Halo ..." jawab gue setelah mungkin udah ratusan missed calls semenjak berbulan-bulan yang lalu.
"El. It's me."
Shit. Ini lah yang paling gue benci. Suaranya benar-benar sama persis. Semua kenangan yang sempat gue kubur dalam-dalam seolah menguap begitu aja.
***
"What do you want Alice?" tanya gue setelah akhirnya memberanikan diri menemui wanita yang selama ini meneror gue dengan sejuta email dan puluhan panggilan telepon.
Gue sama sekali nggak menyangka bahwa Alice benar-benar mengubah penampilannya. Alice yang gue kenal adalah gadis tomboy asal London dengan pixy cut-nya yang benar-benar menegaskan bahwa ia adalah gadis cuek dengan sedikit sifat maskulin. Berbanding terbalik dengan kakaknya yang hanya lebih tua beberapa menit. Ya, Anna. Almarhumah mantan istri gue.
Alice adalah kembaran Anna. Dibanding Alice, Anna merupakan gadis lemah yang sangat feminin dengan hobinya minum teh sambil membaca cerita-cerita klasik di teras rumah. Gue benar-benar jatuh cinta dengan Anna pada waktu itu.
"Aku bisa berbahasa Indonesia sekarang. Aku mempelajarinya." Wanita itu berbicara sambil menyelipkan rambutnya di belakang telinga.
Alice yang sekarang memiliki rambut panjang dengan warna coklat. Perubahan drastis itu benar-benar menghapus ingatan gue tentang rambut pirangnya yang pendek dulu. Gue bertanya-tanya, kenapa dia merubah penampilannya seperti Anna?
"Come on Alice, what do you want?" tanya gue mulai frustasi.
Ia terdiam. Kepalanya masih menunduk. Jari-jemarinya yang lentik memainkan sedotan jus nanas yang ia pesan. Jus kesukaan Anna.
Rasanya emosi gue makin naik ke ubun-ubun, gue rasa dia benar-benar sengaja untuk nemuin gue dengan tujuan mengingatkan kembali tentang Anna.
"Listen, if money is your desire, then I'll give it. Just please stop bothering me." Entah mengapa suara gue melemah.
Alice menatap gue dengan tatapan tersinggung. Gue sadar perkataan gue bisa saja menyinggung perasaanya. Tapi gue bener-bener gak mau lagi punya hubungan apa-apa dengan hal yang bisa mengingatkan gue tentang Anna.
"I don't need your money. You knew that."
Gue menghembuskan napas lelah. "So what's the point?"
***
Hampir aja gue lupa buat jemput Rafa di rumah Mac. Pikiran gue benar-benar kacau hari ini. Untuk sekadar nulis di white board aja gue sampe tremor sendiri. Kalau saja bukan karena gue yang mulai berambisi buat naik jabatan jadi dekan, udah pasti lah gue ambil cuti lagi, persetan dengan semuanya.
Gue memarkirkan mobil gue di depan rumahnya Mac kemudian tanpa sengaja melirik kembali ke SD card yang diberikan Alice tadi. Sempat pengen gue buang ke selokan SD card itu, tapi sudahlah gue aja yang mungkin terlalu berlebihan menanggapi masalah ini, gue cukup lihat aja isinya apa terus jalanin hidup gue yang sekarang.
"Rafa sama William mana?" tanya gue ketika masuk ke dalam rumah dan mendapati Mac yang masih rapi menandakan dia juga baru sampai di rumah.
Pria itu menggaruk tengkuk lehernya. "Gue juga lagi nyari, El. Rafa gak ngabarin lo?"
Gue menyipitkan mata sambil merogoh ponsel yang sepertinya udah lama gue anggurin di dalam kantong celana.
2 missed calls dari Alice.
Beberapa dari nomor tidak dikenal.
Chat grup Whatsapp yang gak pernah gue buka.
Dan, sama sekali gak ada telepon ataupun sekadar chat dari Rafaella.
Tanpa pikir panjang gue langsung mendial nomor teleponnya. Entah mengapa anak itu gemar sekali bikin gue panik.
Nomornya sama sekali gak aktif. Oke, kali ini jangan nyalahin gue kalo gue marahin dia nanti.
"Tenang El, gue juga lagi berusaha hubungin Gian." Mac yang kelihatannya udah sedikit panik gegara lihat gue yang gak tenang hanya bisa menghempaskan diri di atas sofa sambil terus mencoba menelepon si Gian.
Gue berdecak berkali-kali karena gak bisa hubungi Rafa, dan setelah setengah jam kemudian mobil Mac yang satunya lagi terdengar memasuki garasi. Gue segera keluar dan mendapati Rafa dan si Gian. Anak gue yang sepertinya kelelahan sedang tertidur dalam gendongan Rafa, Sera pun adiknya sudah tertidur di jok belakang.
"Dari mana kamu?" tanya gue sambil bersedekap.
Gadis itu menatap gue takut-takut.
Gue mendengus kesal, kalo aja William lagi gak tertidur dalam gendongannya, udah gue marahin abis-abisan anak ini.
"Ayo pulang," ucap gue langsung mengambil William dari gendongannya.
Gadis itu sama sekali tidak membuka suara sepanjang perjalanan pulang.
"Kamu dari mana aja?" ucap gue karena gak tahan dengan keheningan ini.
Rafa yang sementara menatap suasana malam dibalik kaca mobil menoleh ke arah gue. Gadis itu terlihat lelah, bisa gue lihat rasa kantuk dari matanya yang menatap gue datar.
"Dari mall," jawabnya singkat.
"Kenapa gak ngabarin aku?"
"Perlu ya?"
Gue hampir gak konsen nyetir. Dia yang bikin bikin gue khawatir dan jawabannya malah gitu?
Gue berusaha menenangkan diri sambil berucap, "Raf, jangan bikin aku marah. Aku udah cukup lelah hari ini."
"Kenapa cuma aku aja yang wajib ngasih kabar kamu, sedangkan aku gak tahu kamu ngapain seharian."
Gue hanya terdiam. Gue sadar, emosi gue sama sekali gak akan menyelesaikan masalah.
Sesampainya di rumah pun Rafa sepertinya enggan untuk bicara dengan gue. Mungkin gue juga yang harus lebih memperhatikan dia.
Jujur, gue lumayan terbantu dengan kehadiran Rafa di rumah ini. Dia bisa menjaga William dengan baik walaupun terkadang bikin gue khawatir kalau biarin Rafa sendiri yang jagain William. Tapi, gue sadar kalau gue harusnya besyukur karena dia mau jagain anak gue.
Tanpa sadar gue meraih tangannya ketika gadis itu hendak masuk ke dalam kamar.
"Aku janji bakal ngabarin kamu mulai sekarang."
Gadis itu hanya menatap gue sambil mengerjap.
"Tapi, jangan pernah matiin telepon seperti tadi. Kabarin aku kalau mau kemana-mana, dan jangan sering-sering jalan sama si Gian."
Rafa tersenyum. Giginya yang putih bersih menampakan diri begitu cantik. Gue baru sadar kalau dia memiliki senyum lebar secantik ini.
Gue mempererat genggaman tangan gue, tangannya begitu kecil dan halus. Tanpa sadar gue mendekatkan wajah gue ke wajahnya. Aroma mint dari napasnya mulai merasuki rongga pernapasan gue--pasti ni anak abis makan permen karet.
Gadis itu hanya terdiam pasrah. Gue mencium bibirnya. Manis dan lembut. Cukup lama bibir gue bermain di sana sampai akhirnya dia mulai mengikuti. Gue cukup terkejut, tapi gue gak bisa bohong kalau sebenarnya gue benar-benar menikmati.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mistake
Romance[On Going] Gue ditidurin dosen pembimbing skripsi gue sendiri! Pupus sudah akhirnya impian gue pengen cepetan wisuda, kerja, terus biayain keluarga gue yang miskin. -Rafaella Charlotte Gue gak tahu dia anak bimbingan gue! -Gabriel Farlent Wijaya p...