Part 7 : El

962 202 288
                                    

Rafaella POV

"Bukan saya kan?"

Boleh gue teriak sekarang? Boleh gue mati aja sekalian?

Kenapa sih hal kayak gini harus menimpa gue? Pantesan aja selama ini gue selalu ngerasa kayak nggak enak badan.

Ternyata gue sedang mengandung.

Untuk biaya sehari-hari aja gue masih sangat kekurangan, lah sekarang gue harus nanggung anak gue sendiri.

Tuhan? Kenapa ini harus terjadi? Gue pikir gue udah jadi anak yang cukup baik.

Gimana nanti sama orangtua gue di kampung, mereka bener-bener berharap banyak sama gue, dengan gue kuliah ke luar kota aja mereka udah bangga banget.

Dan yang paling parah adalah ayah dari anak ini adalah si brengsek di samping gue yang sementara meratapi kobodohannya—kebodohan gue juga.

"Kamu tinggal dimana biar saya antar?" tanya sir Gabriel masih tidak bisa menyembunyikan kekacauan yang mungkin saja sementara berkecamuk dalam pikirannya.

***

Dalam perjalanan gue masih meratapi nasib gue yang benar-benar udah nggak ada harapan lagi. Gue benar-benar pasrah. Harus bagaimana lagi dong?

Gimana caranya gue bilang sama orangtua gue?

"Kamu beneran tinggal di sini?"

Gue mengangguk tanpa menatapnya. "Saya ngekos."

Dia menghela napas dengan berat. Gue tahu, sir Gabriel juga pasti kesulitan dengan ini semua. Gue mengerti kalau dia nggak mau tanggung jawab.

Gue bener-bener ngerti kok.

Ah sial, air mata gue jatuh lagi.

"Kamu kemasi barang-barang kamu," pintanya langsung bikin gue tercengang gak ngerti.

"Maksudnya Sir?"

Ia memijat pelipisnya dengan frustasi. "Kamu pindah ke rumah saya."

"Ha? Untuk apa?" tanya gue masih nggak ngerti.

"Gak mungkin saya biarin kamu dan anak saya tinggal di tempat kumuh seperti ini," ucapnya memperhatikan lingkungan sekitar tempat kos gue.

Bawaannya gue pengen tersinggung apa gimana yak. Perkataanya rada-rada menghina gimana gitu. Tapi, emang bener sih, gue memilih tempat kos di antara gang gang kecil yang dekat dengan sungai yang banyak sampah, ini juga terpaksa karena biaya sewanya yang murah.

Gue yang masih memikirkan sungai kumuh dekat tempat kos gue terpaksa turun dari mobil karena tanpa sadar Sir Gabriel udah membukakan pintu mobilnya agar gue segera turun.

Setelah masuk ke dalam kos gue, Sir Gabriel hanya menampakan ekspresi jijik sedari tadi. Iya, iya gue tau ini gak seperti rumahnya yang bak istana. Gue juga belum sempat beres-beres, mana gue tahu kalau gue hamil dan tiba-tiba aja disuru pindah ke rumahnya dia, emang gue penulis cerita ini?

"Kamu gak usah ikutan angkat kopernya, biar saya yang angkat."

Gue yang masih gak nyangka dengan perhatiannya hanya bisa mundur dan membiarkan dia mengangkat koper itu dan memasukannya ke dalam mobil.

***

Ternyata bukan cuma gue yang kaget bakal tinggal di rumah sultan ini—asisten rumah tangganya juga demikian.

"Mulai hari ini Rafaella bakal tinggal disini Mbak, dia calon istri saya." Sir Gabriel menjelaskan karena pembantunya sedari tadi tidak bisa menyembunyikan ekspresi—siapa dia? Mengapa dia disini? Apa yang terjadi? Saya dimana? Saya siapa?

Eh tapi.

Calon istri?

Gue gak salah denger kan?

"Kenalin, ini Mbak Sumi yang menjaga rumah ini." Gue pun berkenalan dengan Mbak Sumi.

Sedikit banyak, Mbak Sumi mengingatkan gue kepada nyokab di kampung. Asal kalian tahu, nyokab gue juga seprofesi dengan Mbak Sumi yang adalah asisten rumah tangga.

Tapi, tapi... calon istri?

Gue yang masih terdiam di depan teras akhirnya disuru masuk oleh Mbak Sumi.

Tenang Raf, tenang. Lo harus santai, cool Raf cool.

"Daddy!"

Sebuah suara anak-anak muncul dari sebuah kamar. Gue pun yang penasaran celingak-celinguk mencari tahu siapa pemilik suara menggemaskan itu.

Ya ampun, nggak pernah gue lihat anak se imut ini sebelumnya, dan dia.. bule?

Sir Gabriel meletakkan barang-barang gue dan berhamburan menggendong anak itu. Siapa sih anak itu? lucu banget.

"Daddy..." ucapnya sambil mencium-cium Sir Gabriel.

Eh, Daddy? Bukannya itu artinya ayah? Bapak? Papa?

"Oh iya. Perkenalkan ini anak saya, William."

Gue boleh pingsan sekarang?

"Sir.. udah menikah?" tanya gue lancang sambil lirik kiri dan kanan siapa sangka kan kalau-kalau istrinya muncul terus jambak-jambak gue.

"Sudah cerai mati," jawabnya singkat.

Gue yang masih nggak percaya dengan ini semua harus dikagetkan dengan fakta bahwa Sir Gabriel adalah seorang duda beranak satu.

Dan kelucuan anaknya sangat nggak ketulungan.

Entah gue harus nangis, atau gimana yang pasti perasaan gue campur aduk sekarang, rasanya kalah sama permen nano nano.

"William, sama Mbak Sumi dulu ya, Daddy ada urusan sedikit." Ia bersuara lembut kepada anak itu kemudian menyerahkan gendongannya kepada Mbak Sumi.

Gak pernah gue sangka kalau Sir Gabriel juga bisa bersuara demikian.

Dede gemes yang bernama William itu hanya bisa menggembungkan pipinya kesal, namun pandangannya beralih kepadaku, ia tersenyum malu kemudian menyembunyikan kepalanya ke dalam pelukan Mbak Sumi. Pengen gendong haduuh.

"Ayo saya antar ke kamar kamu."

Gue pun dengan pasrah mengikutinya. Gue ngapain sih? Beneran gue bakal tinggal disini?

Ia pun mengantar gue ke kamar yang terletak di lantai dua. Ruangan kamarnya begitu besar bak kamar hotel bintang lima. Ini bener-bener kamar gue?

Kamar itu memiliki sebuah gordeng besar dengan kaca dibaliknya sehingga gue bisa melihat pemandangan kota Bandung saat itu.

"Istirahatlah, kalau butuh apa-apa kamar saya ada di seberang kamar ini."

"Tapi, Sir. Nggak apa-apa saya tinggal di sini?" tanya gue masih takut-takut dan gak enakan. Kenapa gue yang gak enakan sih, jelas-jelas ini salahnya dia.

"Saya hanya ingin bertanggung jawab," katanya sembari berjalan menuju pintu kamar. "Diluar kampus panggil saja El. Kita sudah berkenalan kan waktu itu."

Pikiran gue melayang kembali kepada ingatan buruk malam itu. Iya ya, dia memperkenalkan dirinya dengan sebutan El.

"I..iya Sir, eh Pak, eh El."

Beautiful MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang