Rafaella POV
Kalo lo bilang gue udah gila, mungkin aja gue lebih dari itu.
Kaki gue sedikit gemetaran berdiri di depan sebuah rumah mewah yang sudah pasti pemiliknya memiliki harta kekayaan yang melimpah.
Rumah ini memiliki gerbang besar dan tinggi dengan warna hitam yang menambah kesan elegan tampilannya.
Bisa dibilang rumah Gian juga sebelas duabelas dengan rumah ini, gue tahu karena hampir tiap hari gue main ke rumahnya untuk numpang makan biar lebih hemat. Terserah kalau kalian mau ngatain gue atau mikir gue ini kurang ajar.
Tapi, sedihnya ini bukan rumah Gian.
Kalian mau tahu ini rumah siapa?
Ya benar, ini adalah rumahnya Sir Gabriel. Silahkan ngatain gue bego, gue emang bener bego kok, ya mau gimana lagi.
Udahlah Raf, lo udah sejam berdiri di sini, kata gue kepada diri gue sendiri.
Kaki gue pun yang udah sedari tadi kesemutan melangkahkan kaki maju dan membunyikan bel di depan gerbang.
Tak lama setelah membunyikan bel, pagar besar itu pun terbuka dan menampakan jelas bentuk rumah mewah dengan tema monokrom tersebut.
Anjir, apa gue pulang aja ya?
Gak, gak. Gak boleh, pokonya gue harus konsultasi proposal skripsi gue hari ini.
Anyway, kalian pasti bertanya-tanya kan kenapa dengan beraninya gue ke rumahnya dia? Laki-laki yang bisa dibilang udah melihat keseluruhan tubuh indah gue.
Tadinya gue mau konsultasi di kampus tapi, kata Kak Echa, beliau gak bakal dateng ke kampus karena sakit jadinya gue diminta langsung aja kerumahnya.
Gimana kalau sampe gue diperkosa lagi? Gak, gak. Gak mungkin. Skripsi gue sama pentingnya dengan diri gue sendiri.
"Maaf ini dengan siapa? Ada perlu apa?" tanya seorang wanita paruh baya yang keluar dari balik pintu rumah tersebut.
"Ehm, selamat pagi Bu nama saya Rafaella mahasiswi bimbingan Sir Gabriel. Tadi sudah buat janji katanya bisa datang ke rumah," jawab gue sesopan mungkin.
"Oh iya, iya. Silahkan masuk. Mau minum apa dek? Biar saya panggilkan Pak Gabriel." Wanita paruh baya tersebut—yang sepertinya asisten rumah tangga—mempersilahkan gue masuk.
"Gak usah Bu gak perlu repot-repot buatin minum, saya mau menunggu Sir Gabriel aja," tolak gue gengsi, padahal sejujurnya tenggorokan gue nih udah kering kerontang karena semua kegugupan ini.
Setelah dipersilahkan duduk di ruang tamu super mewah tersebut, gue gak bisa berhenti gerak-gerakin kaki gue dengan gelisah. Ini pertama kalinya gue mau konsultasi skripsi sama dia, setelah terakhir gue ketemu dia sama Sir Michael di kafe tempat gue kerja part time.
Jantung gue serasa mau meledak ketika melihat orang yang paling gue takuti di dunia ini menuruni tangga. Jelas aja gue masih takut, kalau benci mungkin udah enggak karena gue udah lebih memasrahkan diri kepada yang maha kuasa.
Penampilannya terlihat lebih santai dibandingkan penampilannya di kampus. Wajahnya sedikit pucat menandakan dia benar-benar lagi gak enak badan. Gue gak bisa bohongin diri gue sendiri, Sir Gabriel emang ganteng.
"Go-good morning Sir," ucap gue bergetar.
Nampaknya dia juga terkejut setelah melihat gue muncul di ruang tamunya. Padahal setahu gue Kak Echa—sekertarisnya—udah kasih tahu kalau gue mau dateng konsul.
Ia menunjukan ekspresi yang sulit ditebak. "What can I help you?" tanyanya dengan suara datar. Sir Gabriel pun duduk di sofa tepat berhadapan dengan gue.
Jujur bahasa Inggris gue sangatlah standar, dan gak tahu kenapa gue nekat ambil prodi International Business.
"I.. I.." anjirrr gue gak bisa ngomong. Apasih bahasa inggrisnya 'gue pengen jadi orang kaya seperti lo, dan gue udah kelaperan banget sekarang jadi tolong ambilin gue makanan atau gak cemilan'?
Ia hanya menatapku tajam, masa kata-kata hati gue bisa dia denger sih.
Tiba-tiba tatapan tajam tersebut mau gak mau bikin gue jadi keingetan lagi sama kejadian malam itu.
Gue bener-bener takut dengannya. Tatapan itu, tatapan yang ternyata masih gue benci.
"Perbaiki bahasa Inggrismu, What's your name again?" tanyanya dengan nada dingin, sedingin es batu dari kutub utara.
"Rafaella," ucap gue setelah menarik napas panjang. Masa iya dia lupa nama gue, ya gak mungkin banget dong secara gue ini anak bimbingannya dia, dan yahh.. gue gak mau lanjutin kalimat gue.
"Ya sudah, biar saya lihat proposal skripsi kamu," katanya akhirnya menggunakan bahasa Indonesia. Gitu dong dari tadi, kalo gitu kan gue gak perlu repot-repot cari kosakata bahasa Inggris.
Gue pun dengan telapak tangan yang udah banjir dengan keringat menyerahkan hardcopy proposal skripsi gue yang udah terjilid rapi.
Ia membaca proposal gue dengan cukup lama, sesekali ia mengerutkan keningnya yang bisa gue tebak pasti karena grammar gue yang bikin pusing.
Maafkanlah diri ini yang gak punya duit buat kursus bahasa Inggris Sir.
"Perbaiki Grammar kamu, dan topik seperti ini masih belum cukup untuk masuk skripsi. Topiknya terlalu dangkal dan research background kamu benar-benar tidak nyambung."
Ahhh ingin sekali gue berkata kasar. Gue udah ikutin maunya dia buat ganti topik skripsi, karena itu pun gue bela-belain begadang dan gak sarapan pagi demi nemuin dia pagi-pagi buta di kampus, bahkan gue udah buang malu sampe datang ke rumahnya dia.
Sabar Raf, sabar. Mahasiswa tingkat akhir emang kayak gini. Ini belum seberapa.
Tiba-tiba aja kepala gue seperti tertimpa batu, sakit sekali. Kok pandangan gue jadi kunang-kunang gini ya, masa kunang-kunang bisa bebas terbang di rumahnya Sir Gabriel sih.
"Pelajari banyak jurnal internasional dan tambahkan juga ke dalam bab dua untuk mendukung penelitian kamu, kemudian lebih dipersingkat lagi, jangan buat proposal skripsi yang tebal tapi isinya omong kosong semua..."
Gue gak bisa mencerna perkataan Sir Gabriel. Kepala gue benar-benar sakit dan gue rasanya pengen muntah.
Makan apaan sih gue semalam? kayaknya normal-normal aja deh. Emang sih gak sempat sarapan tapi biasanya juga gue gak sarapan.
"Maaf saya bisa pinjam toilet sebentar?" tanya gue pada akhirnya sambil terus berusaha keras menahan rasa pengen muntah.
Sir Gabriel hanya terdiam sejenak kemudian mempersilahkan gue ke toilet yang jaraknya hanya dekat dari ruang tamu.
Keringat dingin mulai mengalir melewati pelipis gue, kayaknya jalan aja gue rasanya gak sanggup. Dengan segenap kekuatan yang gue punya, gue pun masuk ke dalam toilet tersebut dan langsung memuntahkan hampir semua isi perut gue.
Gue langsung ngos-ngosan saat itu juga, rasanya semua energi gue juga ikutan kebuang. Gue pun mencuci tangan dan menatap pantulan wajah pucat gue di kaca.
Kenapa tiba-tiba kek gini sih?
Gue memegangi kepala gue yang rasanya seperti sedang dipukul-pukul oleh pentungan, dan tiba-tiba aja badan gua terasa ringan dan semuanya menjadi gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mistake
Romance[On Going] Gue ditidurin dosen pembimbing skripsi gue sendiri! Pupus sudah akhirnya impian gue pengen cepetan wisuda, kerja, terus biayain keluarga gue yang miskin. -Rafaella Charlotte Gue gak tahu dia anak bimbingan gue! -Gabriel Farlent Wijaya p...