Part 15 : As a Wife

739 60 152
                                    

IU - Eight Acoustic Ver.

Rafaella POV

Mungkin El orangnya memang pendiam, atau gak yah dia masih marah gegara candaan gue pas di Bali. Oke, gue akuin gue udah kurang ajar. Sebenarnya niatan buat kerjain Gian, Tapi malah si dosen suami yang kena.

Kami akhirnya sudah kembali dari Bali gegara El ada jadwal rapat dengan para direktur prodi fakultas lain. Wah, udah lama juga gue gak ke kampus. Proposal skripsi apa kabar?

"Lah! Kok barang-barangnya pada ilang?" Gue berseru ketika masuk ke dalam kamar. Semua baju dan barang-barang gue, dan terlebih penting, Bunny-boneka kelinci kesayangan gue ikutan menghilang.

Anjir! Gak heran sih rumah segede gini dimasukin maling, tapi jangan ambil Bunny gue lah, ntar gue tidur ditemani siapa coba?

"Non, barang-barangnya sudah saya pindah ke kamarnya Pak Gabriel." Mbak Sumi menghampiri gue kemudian mengambil koper yang sedari tadi gue bawa.

"Astaga Mbak, kok bisa? Kenapa?" tanya gue dengan hebohnya.

Mbak Sumi menatap gue dengan tatapan bingung kemudian terkekeh. "Non gimana sih, suami istri mah harus tidur sekamar."

ASTAGA! Gue lupa.

"Kenapa Mbak ribut-ribut?" tanya sebuah suara bariton dari arah belakang.

Aduh, ini nih orangnya. Gue mesti gimana dong? Ya, emang sih gue bukan cuma sekali tidur sama dia. Tapi ini beda, sekarang kamar dia adalah kamar gue, dan kamar gue adalah kamar dia. Sungguhan, gue belum terbiasa. Gue sama dia pun belum ... ehem ... itulah pokoknya.

"Ini Pak, saya mau pindahin kopernya non Rafa ke kamar Bapak," ucap Mbak Sumi.

El beralih menatap gue yang masih berhaluria membayangkan hubungan antara suami dan istri itu seperti apa.

"Biar saya aja Mba." El tersenyum tipis kemudian mengambil koper tersebut dari tangan Mbak Sumi.

Kini Mbak Sumi yang terlihat gelisah. Ada apa sih? Mbak juga mau ikutan pindah ke kamarnya El?

"Pak ... Itu ... Saya," kata Mbak Sumi terputus-putus.

El menoleh dengan pandangan tanya.

"Saya, tadi ditelepon keluarga di kampung, saudara saya ada yang meninggal Pak, adik tiri. Saya niatnya ingin minta izin pulang kampung Pak, tapi kalau tidak diperbolehkan ya saya tidak apa-apa."

Gue mau nangis dengernya. Pulang Mbak, tolong pulang aja.

El sepertinya lumayan kaget dengan perkataan Mbak Sumi. Ia hening seperti sementara menimbang-nimbang. "Iya udah Mbak, tapi nggak lama 'kan? Soalnya William harus ada yang jagain."

Mata Mbak Sumi mulai berkaca-kaca, dan sepertinya gue juga. Kenapa jadi gue yang baper sih?

"Makasih Pak, saya cuma seminggu untuk mengurus pemakaman adik saya."

El menghembuskan napas pelan, "Saya turut berdukacita ya Mbak, nanti saya transfer hari ini gajinya sama beberapa bonus."

Beberapa hari ini gue mulai menyadari sifat baru El. Murah hati.

Mbak Sumi tersenyum sambil meneteskan air mata pada saat berpamitan. Gue pun ikutan senang dengan keputusan bijak El.

Oke, balik lagi ke nasib gue yang ternyata ditinggal berdua-eh bertiga, sama El dan William. Apakah saatnya sekarang gue berperan sebagai seorang istri gitu? Kayak masak, nyuci, jagain Will, dan-ahh gak mau mikir lagi.

"Hari ini aku ada rapat di kampus, kamu bisa jagain William?"

Jadi tugas pertama, jagain baby Will.

Beautiful MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang