8. Stuck, But Time Still Ticking

1.8K 149 0
                                    

Stuck, itu yang gue rasakan sekarang. Mau urusan skripsi, hubungan gue dan Azka, maupun kesehatan gue sekarang. Rasanya gue benar-benar merasa stuck, terjebak, gatau harus berjalan kemana atau melanjutkan ke arah mana.

Skripsi gue secara konsisten berjalan di tempat, oke bab satu dan dua gue memang sudah diACC. Tapi Tuhan dengan adilnya membuat gue dipertemukan dengan dua dosen pembimbing yang bertolak belakang. Yang satu maunya A yang satunya lagi maunya B. Dua-duanya sama-sama punya argumen yang kuat. Gue yang tiap hari rasanya dilempar ke kanan-kiri berulang kali akhirnya berhenti dengan pasrah. Otak rasanya sudah mau meledak. Sudah hampir seminggu gue semedi mencari petunjuk, tapi hasilnya nihil, otak gue tetap saja buntu. Di tambah lagi hubungan gue dan Azka yang sedang tidak baik-baik saja.

Ayah dan Bunda sudah sering memperingatkan, mengingatkan dan menasehati, menjalin hubungan dalam masa-masa gue yang harus mengerjakan skripsi bukan hal yang baik. Ditambah sifat gue yang memang tidak suka diatur dan keras kepala. Gue sekarang merasa terjebak dengan pilihan gue sendiri.

***

One week ago..

Malam ini untuk meredakan stress karena tuntutan skripsi yang semakin menggila, gue, Velis, Didit, dan Annov (pacarnya Velis) berencana untuk pergi ke tempat karaoke. Oh, tidak hanya sekedar berencana tapi memang sudah dalam perjalanan menuju suatu tempat karaoke yang cukup terkenal di Jakarta. Itu ide gue, gila, gue tau. Tapi skripsi lebih bikin gue gila.

Sampai di lokasi, kami mengambil paket untuk dua jam. Disini kami nggak aneh-aneh kok, murni hanya untuk menengkan jiwa, merelaksasikan tubuh, melupakan semua beban pikiran yang menuntut untuk cepat lulus. Kami pun hanya memesan pizza dan cola untuk menemani kegilaan kami malam ini.

Dalam seketika ruangan berukuran tiga kali tiga meter yang kami tempati dipenuhi gelak tawa, nyanyian fales yang dipersembahkan oleh Didit berhasil membuat gue dan Velis jingkrang-jingkrang ingin membungkam mulut sohib konyol kita itu.

Ketika gue baru saja ingin mengambil gelas untuk minum, gue merasakan ponsel gue bergetar. Ternyata nama Azka yang tertera dalam panggilan masuk begitu gue mengambil ponsel dari saku celana.

"Halo Ka?" Gue menyapa dengan suara keras. Berharap diseberang sana Azka dapat mendengar suara gue disela-sela suara nyanyian Didit dan musik yang cukup memekakan telinga.

"Kamu dimana?" Tanyanya langsung dengan suara tak kalah keras, mengerti kalau gue sedang berada di keramaian.

"Di tempat karaoke. Kenapa?"

"Sama siapa?"

"Banyak. Ada Velis, Didit sama Annov. Kamu kenapa telpon?" Gue kembali mengulangi pertanyaan yang sama.

"Sama Didit?" Jawabnya, seolah memperjelas kalau dia sedang tidak salah dengar. Gue kasih tau, sampe sekarang Azka masih tidak percaya dengan hubungan gue dan Didit. Mendengar nama Didit, gue bisa membayangkan diseberang sana rahangnya mengeras menahan amarah.

Azka sudah berulang kali meminta gue untuk tidak usah sering-sering bertemu dengan Didit. Tapi sayangnya gue bukan perempuan penurut yang akan langsung mengikuti apa katanya. Toh menurut gue hubungan kami dibatas wajar. Gue pun nggak ada masalah sampai harus menghindari Didit. Like what I said before, gue lebih dulu kenal Didit dari pada Azka.

"Iya ada Didit. Tapi ini kita bareng-bareng kok." Akhirnya gue memutuskan untuk ijin keluar ruangan, pembahasan ini akan sangat rumit dan gue nggak mau mengganggu teman-teman gue yang sedang berusaha menghilangkan stress, yang ada kalo gue masih di dalam tambah bikin mereka stress.

"Ra, labih baik kamu pulang sekarang." Nadanya tegas, tidak mau dibantah.

"Kenapa sih Ka? Kamu ada masalah apa sama Didit? Kamu udah pernah kan aku kenalin sama Didit langsung. Kamu udah lihat dia gimana, kamu udah ngobrol sama dia." Iya, gue pernah mengenalkan Azka dan Didit secara langsung, bukan bertemu langsung memang, melainkan menggunakan skype. Tapi setidaknya melihat dan berbicara langsung kan.

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang