31. Awesome Life Drama

741 76 2
                                    

Sekarang sudah tiga bulan lamanya sejak Allen menginjakkan kaki di gedung Gitama Samudra Foundation. Dan tepat dua bulan juga sejak gue akhirnya terlepas dari kewajiban gue sebagai asisten pria yang menjabat sebagai kepala departemen pendidikan itu.

Pagi ini gue bersama Gladis –anak trainee di devisi gue sejak sebulan lalu- sedang menyusuri jalanan ibu kota menuju kantor GSF. Kami baru saja pulang perdin dari Bangka Belitung malam tadi, dan gue sebagai mentor yang baik meminta Gladis untuk menginap di apartemen gue mengingat kami tiba di Jakarta pukul sebelas lebih empat puluh menit.

"Ini Dis, sambil dimakan sandwichnya." Gue mengulurkan satu bungkus sandwich untuk Gladis dengan sebelah tangan tetap memegang kemudi. Tadi gue sampat mampir ke restoran lantai dasar apartemen gue untuk membeli sarapan sebelum ke basement tempat parkiran mobil.

"Iya mbak makasih, bareng mbak aja makannya. Aku belum laper banget kok." Gladis menyunggingkan senyum simpul, menyimpan kembali sandwich yang gue berikan.

"Kamu nggak usah canggung gitu kali Dis. Kayak kita baru kenal aja." Gue menoleh pada Gladis dan balik tersenyum lembut. Gladis ini satu tahun lebih muda dari gue, pertama kenal anaknya polos dan pendiam banget. Tapi kalau sudah mulai akrab, Gladis bisa menjadi partner yang bisa diandalkan, dia juga perempuan yang ceria dan penuh semangat.

"Gladis nggak canggung kok mbak, Gladis cuman mau makan bareng mbak Fara aja." Katanya masih dengan senyum yang belum hilang.

"Terserah kamu deh." Gue menyerah dan kembali fokus menyetir. Hingga belum lama kamu terdiam, Gladis kembali membuka suara.

"Mbak Fara."

"Hmm. Apa? Mau tanya sesuatu?" Gue menoleh pada Gladis sekilas kemudian kembali melihat jalanan Jakarta yang padat merayap di jam berangkat kantor seperti sekarang. Sebulan menjadi anak trainee gue, gue tau Gladis ini punya rasa ingin tau yang tinggi. Jadi nggak heran kalau sekarang gue menebak kalau Gladis ingin menanyakan sesuatu, entah itu tentang urusan kantor atau tentang kehidupan pribadi –yang kadang justru membuat gue agak canggung-.

"Enggak, Gladis nggak mau nanya. Gladis cuma mau bilang kalau Gladis seneng banget mbak Fara jadi mentornya Gladis selama jadi trainee."

"Kenapa?" Tanya gue penasaran. I think I'm not that good to become a mentor, karena gue pun masih banyak belajar di dunia NGO ini.

"Mbak Fara itu baik banget, nggak pernah marah kalau Gladis salah, malah sabar banget ngajarin Gladis. Gladis juga kagum dengan cara mbak Fara memperlakukan orang-orang disekitar mbak Fara, cara mbak Fara berbicara, cara mbak Fara mengambil keputusan, semuanya kelihatan keren dan Gladis belajar banyak dari mbak Fara. Temen Gladis di devisi lain aja sampe iri. Pokoknya mbak Fara itu mentor terbaik deh. Udah pinter, cantik banget pula. Paket komplit." Gladis bercerita dengan penuh semangat dan diakhiri dengan acungan jempol yang ditujukan ke gue.

Sedikit terkekeh dengan pujian Gladis yang agak berlebihan, gue kembali menoleh dan tersenyum tulus. "Aku nggak sebaik itu kali Dis, masih banyak yang lebih baik. Tapi aku seneng kalau kamu bisa belajar banyak dari aku."

Tepat ketika mobil gue berhenti di lampu merah, ponsel gue tiba-tiba berbunyi menandakan ada panggilan masuk, membuat Gladis kembali menutup mulutnya yang tadinya terbuka hendak menimpali ucapan gue.

"Hallo, Assalamualaikum Vel. Ngapain lo telpon gue pagi-pagi." Yaps, panggilan telepon ini berasal dari sahabat gue, Velis. Nggak biasanya sih Velis telpon gue pagi-pagi gini, kecuali she has a problem.

"Waalaikumsalam. Ra gue butuh bantuan lo." Ujar velis dengan nada suara yang 'sendu' kalau gue nggak salah menyimpulkan, yang jelas tebakan gue benar. Sahabat gue itu sedang ada masalah.

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang