35. Everything has Changed

757 78 4
                                    

Dua minggu setelah kedatangan Kyra ke apartemen gue malam itu, gue belum bisa mengatakan apapun ke Allen. Gue masih terus berpikir tentang kebenaran ucapan Kyra saat itu, dan apakah gue memang punya hak untuk melarang Allen menikahi sahabatnya sendiri dengan tujuan yang tidak bisa dikatakan buruk.

Untungnya pula dua minggu ini Allen banyak melakukan perjalanan dinas di seberang benua sana, sehingga intensitas pertemuan kami di kantor dan di luar kantor sangat minim. Dalam dua minggu ini Allen sudah dua kali melakukan perjalanan dinas, satu ke Singapore dan satunya ke New York, yang memakan total waktu lebih dari seminggu. Sebab itu dalam dua minggu ini gue hanya sempat sekali berpapasan dengan Allen di kantor dan satu kali pula bertukar sapa di WhatsApp.

To be honest, bukanya gue jahat karena sangat bersyukur dengan jadwal padat Allen yang tentu saja menguras waktu, pikiran dan energi, tapi mau bagaimana kalau dibalik kesibukkannya dapat membuat gue lebih leluasa untuk memikirkan langkah apa yang akan gue ambil selanjutnya.

"Pantes aja gue dari tadi ngetuk pintu kagak ada sautannya, ternyata ngelamun toh." Suara mbak Lana yang kini masuk ke ruangan gue tiba-tiba mengintrupsi lamunan gue. Wanita paling ceplas ceplos di devisi gue ini membawa setumpuk berkas yang kemudian diletakkan di meja gue, sembari menyipitkan mata memperhatikan raut wajah gue.

Gue tersenyum kikuk, kemudian mengambil berkas itu mendekat ke gue. "Final report project sekolah inklusi bareng kedutaan Belanda ya mbak."

"Lo kenapa sih dua minggu ini kayaknya sering banget ngelamun?" Mbak Lana sudah duduk di kursi seberang meja gue, menatap gue intens dengan kedua tangannya yang menumpu pada meja, memulai sesi introgasinya.

"Mbak, bis buat ke puncak besok udah siap kan?" Maafkan gue karena sengaja menghiraukan pertanyaan mbak Lana dan mengalihkan topik pembicaraan.

"Udah. Kalau yang ngurus si Bayu mah santai aja, beres pokoknya." Jawab mbak Lana yang kini telah menyenderkan punggungnya, sepertinya dia menyerah untuk mengorek informasi dari gue. "Biaya sewa villa-nya juga udah beres sama anak finance." Lanjutnya dengan tangan yang mulai membuka ponselnya. Sedangkan gue hanya mengangguk-angguk kecil sebagai respon.

Sekarang memang sudah memasuki jam pulang kantor, dan sepertinya mbak Lana sudah tidak ada tugas yang perlu dikerjakan secepatnya sehingga bisa lebih bersantai.

"Pak Allen bisa ikut kan, Ra?" Mbak Lana tiba-tiba kembali bertanya, membuat gue mengurungkan niat untuk membuka berkas yang tadi diserahkan olehnya.

"Ya mana gue tau mbak. Udah ada yang ngasih tau soal acara gathering-nya kan?"

Yaps, yang sejak tadi gue dan mbak Lana bahas adalah rencana acara gathering departemen pendidikan weekend ini di sebuah kawasan villa di Bogor.

Acara gathering ini memang biasa diselenggarakan minimal setahun sekali, selain untuk melepas penat karena tumpukan project di kantor yang nggak ada habis-habisnya. Acara gathering ini juga bertujuan untuk mengakrabkan diri. Dengan diadakannya acara ini semua anggota departemen akan berkumpul dan berbaur layaknya teman, melepaskan semua embel-embel sebagai ketua tim, kepala devisi maupuan kepala departemen. Sehingga diharapkan semuanya dapat lebih solid.

"Udah dikasih tau sama Jessi dan Nadine sih kemarin. Tapi si bapak boss bilang belum bisa ngasih kepastian bisa ikut apa enggak. Coba kamu tanya lagi deh Ra, kan besok udah berangkat. Sekalian tanyain kalo ikut mau naik bis apa mobil pribadi." Cerocos mbak Lana panjang diikuti gerakannya berdiri dan bersiap meninggalkan ruangan gue.

"Kenapa aku yang nanya, mbak. Kan yang lain bisa."

"Kalo lo yang nanya pasti si mamas boss bakal ikut." Jawabnya sambil mengerling sebelum hilang di balik pintu. Sedangkan gue hanya bisa menghela napas pasrah dan mengumpat di dalam hati.

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang