6. Back to Reality

2.4K 190 2
                                    

Everyone says college is the time of your life.

I think it's the most stressed I've ever been.

***

Setibanya gue kembali ke tanah air, kesibukan kemahasiswaan gue kembali dimulai. Seperti baterai yang baru di charge penuh, begitulah gue sekarang. Berjalan di lorong kampus untuk menemui dosen pembimbing skripsi bersiap-siap untuk revisi.

Ini gue serius, nggak mungkin lo skripsi tanpa adanya revisi. Mustahil. Ibaratnya skripsi sama revisi itu sepaket, udah jodoh mereka, nggak bisa dipisahin. Saat lo sedang memasuki masa skripsi seperti gue sekarang, dapat dipastikan kertas dan tinta printer lo akan habis untuk revisian. Dan bisa jadi nggak cuman tinta printer sama kertas aja yang habis tapi kesabaran lo juga dipertaruhkan.

Oh iya, gue nggak sendiri sekarang, karena kebetulan sahabat karib gue, si Velis, juga satu dosen bimbingan dengan gue. So, hari ini gue nggak akan kesepian menunggu bapak dosen yang sibuknya ngalahin Presiden.

Itulah alasan gue bisa cengengesan sekarang, tentu saja karena gue punya temen senasib sepenanggungan yang dapat dipastikan tepat setelah selesai bimbingan ini kita akan mengumpat bersama-sama.

Gue nggak bego-bego amat sih jadi mahasiswa, tapi dosen pembimbing gue ini terkenal killer dan bukan main ribetnya. Yang bikin nambah nyesek adalah, saat lo punya sepuluh halaman untuk BAB 1 dan lo punya kesalahan dihalaman pertama, maka si bapak dosen ini dengan santainya akan meminta lo revisi tanpa baca halaman selanjutnya.

Jadi kalau lo salah di halaman 1, 3, 7, 8 lo kudu harus bimbingan empat kali untuk mendapatkan kata ACC BAB 1. Belum lagi kalau tiba-tiba si bapak dosen menemukan kesalahan lain. Bisa seabad hidup lo isinya revision doang. Sadiiss nggak sih.. baru bayangin aja udah bikin gue mual. Sebenernya bagus sih, karena dengan begitu akan menuntut kita untuk lebih teliti. Tapi tetep aja, hidup kalau nggak ngeluh rasanya nggak mantep.

Just for your info nih ya. Setelah hampir seminggu gue bolak-balik rumah-perpus-rumah-perpus, ngadep buku-kertas-leptop-printer-buku-kertas-leptop-printer, akhirnya BAB 1 gue selesai. Kata orang-orang pendahulu gue yang udah pernah ngerasain skripsi, ngerjain BAB 1 itu memang yang paling sulit bin rumit.

Kenapa? karena lo harus nyari berbagai literatur yang bisa menjadi alasan kuat buat lo mempertahankan judul yang mau diajuin. Kalo alasan lo nggak kuat dan lo nggak bisa mempertahankan arguman, mampus aja, siap-siap judul lo ditolak mentah-mentah.

Ngomong-ngomong rumah gue itu di Bandung dan gue ngerjain skripsian ini juga di Bandung. Baru setelah BAB 1 rampung, gue langsung ke Jakarta untuk bimbingan, karena gue memang kuliahnya di Jakarta bareng Velis.

Velis alias Velisya Almahira Soedirja yang gue sebut-sebut ini adalah sahabat yang sudah menemani gue sejak SMP. Gue dan Velis entah gimana selalu berjodoh di sekolah yang sama dimulai dari SMP, SMA, bahkan sampe ke jenjang perguruan tinggi. Makanya kita sudah seperti saudara banget, apalagi sejak kuliah kita sama-sama merantau ke Jakarta.

***

Saat ini gue sudah duduk manis dikursi yang disiapkan di depan ruang dosen. Menunggu munculnya manusia paling ditunggu abad ini, siapa lagi kalau bukan dosen pembimbing skripsi.

"Gimana Ra, pak Ardi udah bales?" Velis yang masih dengan muka sabarnya bertanya ke gue yang bertugas menghubungi dosen pembimbing kita hari ini.

Gue pun otomatis kembali mengecek aplikasi berkirim pesan yang saat ini sedang digandrungi, WhatsApp. "Belum dibales nih. Di read aja kagak."

"Lo beneran udah bikin janji kan sama si bapak." Dari nada suaranya, Velis mulai kehilangan kesabaran.

"Udah. Janjiannya jm 8, tapi ini udah jm 10 belum dateng juga. Heran deh, namanya dosen itu memang hobby banget ngilang kalo lagi dibutuhin." Gue sudah berusaha semaksimal mungkin agar tetep kalem, tapi sayangnya rasa kesal gue sudah mencapai ubun-ubun. Bahkan mulut ini sudah sampai dibatasnya untuk mingkem, siap mengeluarkan sumpah serapah.

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang