38. Jogja - The City of Love

798 79 3
                                    

Masih dari kota Jogja. Setelah sarapan yang sangat kesiangan, kini gue sudah kembali berada di kamar hotel gue. Membereskan barang-barang yang gue bawa terbang dari Jakarta, menyimpannya kembali ke dalam koper. Setelah check out jam sebelas nanti, rencananya gue akan menginap di rumah eyang yang tak jauh dari kawasan titik 0 km Jogjakarta.

Begitu gue turun ke lobby hotel, Allen sudah menunggu di sana, duduk disalah satu sofa entah membaca apa di Ipad yang ada di tangannya. Begitu menyadari gue berjalan kearahnya dengan menyeret koper, Allen langsung bangkit berdiri dan mengambil alih koper dari tangan gue.

"Apaan ini?" Tanya gue saat Allen menyerahkan plastik bingkisan sebelum mengambil alih koper gue. Bagian luar plastik ini tertulis Chez Moi Patissier & Chocolatier, yang gue tau merupakan salah satu merk toko roti yang cukup gue kenal di Jogja.

"Buat eyang kamu, masak aku bertamu nggak bawa apa-apa." Katanya berjalan lebih dulu menuju mobilnya yang sudah siap terparkir di depan lobby hotel.

"Nggak usah repot-repot kali, lo dateng aja eyang aku udah seneng." Kalimat gue itu sengaja mengutip ucapan eyang saat ditelpon pagi tadi. Eyang memang orang yang senang menerima tamu, kecuali tamu dengan kepentingan politik. They hate them a lot.

"Tetep aja nggak sopan dong aku." Ucapnya sembari memasukkan koper ke dalam bagasi.

"Oke deh oke, terserah bapak Allen saja. Saya mah nurut." Ucap gue mangakhiri perdebatan tidak penting siang ini. Kemudian masuk ke dalam mobil lebih dulu yang selanjutnya disusul oleh Allen, yang kini sudah duduk dibalik kemudi.

"Kamu mau mampir dulu?" Tanyanya ketika mobil kami mulai melaju di jalanan kota Jogja.

Oh iya, mobil yang sekarang gue tumpangi dengan Allen adalah mobil eyang gue. Begitu gue bilang akan ke Jogja, eyang langsung menyerahkan salah satu mobilnya untuk operasional gue selama disini. Awalnya Allen menolak dengan alasan tidak mau merepotkan eyang gue dengan menggunakan mobilnya, tapi tentu saja gue paksa. Dari pada sewa mobil, ya mending yang gratisan kan.

"Enggak. Langsung ke rumah eyang aja." Gue menoleh sekilas kemudian kembali memandang ke luar jendela mobil. Melewati jalanan Jogja selalu berhasil membuat otak gue betah bernostalgia tentang kenangan di kota ini.

Deretan pertokoan, ramai orang berlalu lalang, nuansa Jawa yang elegan, entah kenapa membawa vibes layaknya jaman dahulu. Membawa rasa syukur, nyaman, tenang, dan begitu diterima.

Tidak sampai lima belas menit, akhirnya kami sampai di depan gerbang rumah eyang. Budhe Yatmi yang kebetulan sedang menyapu di halaman rumah langsung menghentikan aktifitasnya dan membukakan gerbang untuk kami, meskipun gue sebenarnya sudah akan turun untuk membuka gerbangnya sendiri.

"Non Ita, sudah lama nggak kesini, budhe kangen banget lho." Budhe langsung berhambur memeluk gue setelah sebelumnya kembali menutup gerbang.

"Ita juga kangen sama budhe." Gue mengeratkan pelukan, budhe Yatmi ini orang yang sudah puluhan tahun bekerja untuk eyang. "Eh Ita beliin gamis dari Jakarta loh budhe, tapi masih di koper. Nanti ya kita bongkar bareng." Lanjut gue melepas pelukan budhe.

"Oiya budhe, kenalin ini Allen, temennya Ita." Gue memperkenalkan Allen pada budhe ketika menyadari budhe terlihat asing dengan kehadiran pria disamping gue ini. "Bos nya Ita di kantor." Tambah gue berbisik pada budhe. Membuat budhe terkekeh geli dan menjabat tangan Allen.

"Ita... cucu yangti yang paling bandel." Tiba-tiba suara eyang putri yang berdiri diambang pintu mengintrupsi, eyang putri seperti biasa dengan anggunnya mengenakan kaos dark khaki berlengan pendek bertuliskan 'neni' dan midi skirt berwarna hitam. Sungguh gaul sekali tampilan eyang gue ini.

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang