4. Maybe Serendipity

3.3K 248 7
                                    

You're my serendipity.

I wasn't looking for you.

I wasn't expecting you.

But I'm very lucky I met you.

***

Seminggu sudah gue menghabiskan waktu liburan gue di London. Dengan ekspektasi, gue bisa liburan selayaknya anak-anak artis yang pergi sana-sini, foto sana-sini, belanja sana-sini, berasa duit tinggal metik dari pohon.

But thanks to universe, kalian perlu tau realitanya. Di sini gue berasa cuma jadi babu abang gue. Empat hari setelah kejadian Azka ngajakin gue ke Kensington Garden waktu itu, berakhir hanya dengan gue habiskan di dalam apartemen. Dengan rutinitas memasakkan sarapan buat bang Praga, beresin rumah, ngelaundry, dan paling banter gue keluar cuman buat membeli bahan makanan yang habis atau membeli camilan. Enough, that's all.

Sorry, gue mamang suka mendramatisir. Kehidupan gue di sini nggak sesuram itu kok. Walaupun nggak seperti turis pada umumnya, tapi gue mungkin lebih banyak mencicipi makanan super lezat di restoran-restoran yang ada di kota ini.

Berkat bang Praga dan meeting-meeting pentingnya, gue bisa mencicipi makanan di Amrutha Lounge, Alexander The Great, dan Latitude Wimbledon. Gue bahkan juga sudah mencicipi fish and chips terenak di resto yang buka sejak tahun 1952 bernama Poppies.

Jadi bisa dibilang, gue ke London justru untuk berburu kuliner dan bukan menikmati berbagai lokasi wisata khas benua Eropa yang mengagumkan. Ya, sebenarnya negara kawasan Eropa ini memang bukan tempat favorit untuk wisata kuliner bagi orang Asia, karena jelas makanan Asia terutama Indonesia tetap menjadi juaranya. Tapi lumayan juga untuk sekedar bisa mencicipi makanan di kota ini. Oh, gue bahkan tidak mengunjungi istana Buckingham. Sedikit disesalkan.

Lalu tentang Azka. Jangan ditanya, setiap pagi tanpa diundang pria itu masuk ke apartemen bang Praga untuk sarapan. Menyebalkan tentu saja, membuat beban memasak gue semakin bertambah. Catat dan tolong digaris bawahi, Azka nggak cuman numpang pas sarapan tapi juga makan malam.

Dan yang makin bikin gue darah tinggi adalah abang gue, bang Praga tersayang gue ini mengijinkan begitu saja kelakukan Azka yang seenaknya numpang makan gratis di apartemennya. Tapi untungnya saat makan malam, kami lebih sering makan di luar. Sehingga sedikit mengurangi rasa kesal gue.

Hal menarik lainnya tentang Azka. Walaupun setiap pagi pria itu masuk ke apartemen bang Praga untuk sarapan, tapi saat bang Praga pergi kerja, Azka juga akan ikut keluar dari apartemen.

Gue nggak tau sih itu inisiatif dia sendiri atau karena ultimatum dari abang gue. Secara walaupun abang gue itu ngeselinnya setengah mampus, tapi kalo sudah urusan jagain adeknya bisa protektif banget. Mungkin semua kakak laki-laki memang seperti itu.

***

Pagi menjelang siang ini setelah sesi ngebabu gue selesai, gue berencana untuk pergi belanja oleh-oleh. Gue udah ijin bang Praga sih kalau mau pergi, tapi masalahnya adalah, gue mau pergi sama siapa? Yakali gue pergi sendirian.

Perempuan 21 tahun yang pelajaran geografinya jeblok, buta arah, dan nggak bisa baca peta pergi sendirian itu musibah. Meskipun sudah seminggu gue ada di kota ini bukan berarti gue hapal seluk beluk jalannya kan. Bisa-bisa gue digodain bule-bule gondrong yang gatau waktu, mabok di siang bolong.

Bergidik ngeri akan imajinasi diri sendiri, gue masih waras untuk nggak nyemplungin diri ke liang masalah. Jadilah gue mengutak atik isi kontak di ponsel baru gue, mencari siapa yang bisa menemani gue jalan saat ini.

Pilihan gue jatuh pada si Azka pria bermuka datar –serem juga ya sebutan gue-, siapa lagi yang gue kenal di London ini selain bang Praga, teh Alin, dan si tembok datar. Sebenarnya ada beberapa temen gue yang kuliah di sini sih, tapi kan gue nggak punya kontaknya karena hp gue ilang.

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang