18. Everything Happens for A Reason

1.1K 90 0
                                    

Weekend ini, entah sesibuk apa gue 5 hari weekdays kemarin, selelah apa gue sekarang, dan sesibuk apa gue minggu depan, tidak menghalangi sedikitpun niat gue untuk pulang ke Bandung. Ya, sejak gue memutuskan hubungan sebagai pasangan dengan Azka, gue merasa tidak nyaman, entah tiba-tiba gue merasa bersalah, entah mood gue yang naik turun, atau hal tidak nyaman lainnya. Apalagi sejak hari itu Azka tidak bisa dihubungi, jujur gue khawatir. Beberapa kali gue mencoba menghubungi tapi tidak ada satupun panggilan telepon gue yang dijawab. Sampai akhirnya gue memilih untuk menyerah, menyibukkan otak gue dengan segala macam urusan kantor.

Gue memutuskan pulang ke Bandung kerena hanya orangtua gue yang bisa menenangkan pikiran gue yang sedang carut marut ini, hanya dengan keberadaan mereka disamping gue biasanya selalu berhasil menyalurkan rasa nyaman. Gue butuh mencurahkan segala isi pikiran gue ke tempat yang tepat sebelum otak gue akan semakin kusut. Dan rumah adalah tempat yang paling tepat untuk saat ini.

Sabtu pagi gue sudah berada di dalam mobil, mengendarai CR-V SUV keluaran 2019 dengan kecepatan 80 km/jam di dalam tol Jakarta-Bandung, dengan satu cup ice chocolate dan alunan lagu milik John Mayer sebagai teman selama perjalanan ini.

Selama dua jam pikiran gue jauh melalang buana, menyesali kebodohan yang mungkin telah gue lakukan. To be honest, yang paling gue takutkan adalah gue akhirnya telah menyakiti hati Azka. Bagi gue Azka itu pria yang sangat baik, terlalu baik sebenarnya sampai harus berakhir dengan bertemu perempuan seperti gue. Bukan salah dia hingga perasaannya bisa begitu dalam terhadap gue, perasaan manusia bukan sesuatu yang bisa diatur dan dikendalikan, gue percaya itu.

Yang disayangkan adalah dia harus bertemu dengan gue diwaktu yang salah. Diwaktu dimana gue memang tidak siap menjalin hubungan yang serius. Yang disisi lain juga ternyata kami memiliki terlalu banyak perbedaan. Memikirkan perbedaan yang menjadi jurang pemisah antara kami, gue kembali merasa begitu egois. Kenapa hidup gue jadi rumit begini sih, elaah.

***

"Yah, Fara jahat banget nggak sih?" Sekarang gue sudah duduk di sofa teras menghadap taman samping rumah, dengan ayah yang juga duduk di samping gue.

"Jahat gimana neng?" Ayah menyesap green tea buatan bunda yang baru saja disuguhkan sambil melirik gue sekilas.

"Fara udah mutusin Azka." Gue menjawab lesu, fix gue yakin tampang gue udah kusut banget sekarang. Ngalahin kusutnya kain pel yang sudah digunakan bertahun-tahun.

"Ohh." What! Gue nggak salah dengar kan respon ayah cuman 'oh' doang, apa apaan itu.

"Oh doang Yah?" Tanya gue spontan, suara gue sekarang sepenuhnya mampu didengar seisi rumah sepertinya. Yakali anaknya udah kusut begini mau curhat responnya cuma 'oh' doang. Bener-bener ini ayah gue, berhasil banget bikin tampang kusut gue berubah menjadi singa betina. And you know what, ayah gue dengan lempengnya dan tanpa dosa malah balik tanya.

"Terus ayah harus respon gimana?"

"Ya apa kek gitu, masak oh doang sih. Salah nih Fara curhat sama Ayah." Bibir gue semakin mengerucut sebal begitu ayah malah tertawa dengan bahagianya. Ampun dah, ini ayah gue masih normal kan ya?

"Ra, ayah udah nebak nak hubungan kamu sama Azka nggak akan lebih jauh dari sekedar sahabat." Katanya tiba-tiba membuat gue otomatis membulatkan mata. Hah? Apa itu maksudnya tadi. Udah nebak?

Kalimat 'nggak akan lebih jauh dari sekedar sahabat' maksud ayah lebih tepatnya adalah hubungan kami setelah ini, bukan hubungan serius sebagai pasangan tapi hanya sebagai sahabat. Begitu kan?

"Hah? Gimana Yah? Kok Fara nggak paham?" Gue mempersempit jarak duduk gue dengan Ayah, penasaran dengan apa yang akan ayah katakan selanjutnya.

"Neng Fara, Ayah itu kenal kamu sejak kamu masih kecil, bahkan sejak kamu masih di dalam kandungan bundamu. Sifat kamu dan Azka itu nggak akan bisa disatukan nak, bagaimana keras kepalanya kamu, bagaimana ambisiusnya kamu, ayah tahu persis nggak akan bisa disatukan dengan sifat Azka yang lebih banyak mengalah. Kalian terlalu bertolak belakang. Yang kamu butuhkan bukan pasangan yang mau mengalah tapi pasangan yang bisa memahami dan menghargai sifat dan keinginan kamu tanpa harus mengalah, atau bahkan berkorban."

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang