47. Just a Friend?

1K 83 3
                                    

Acara gala dinner dan party dadakan untuk merayakan hari jadi berdirinya Gitama Samudra Foundation akhirnya selesai tepat saat jam di pergelangan tangan gue sudah menunjuk angka satu. Yang artinya pesta baru selesai saat hari telah berganti, molor lebih dari satu jam dari jadwal yang seharusnya.

Meski para pegawai GSF telah meninggalkan lokasi, bukan berarti gue juga bisa segera pulang. Karena faktanya gue dan tim masih disibukkan dengan mengurus para guest star yang hadir malam ini. Memastikan mereka telah meninggalkan lokasi tanpa keluhan apapun.

Jujur saja gue merasa menjadi EO alias event organizer konser malam ini. Bagaimana tidak, kalau dalam project kali ini gue bekerja membuat event atau acara dari nol sampai benar-benar selesai. Gue bahkan harus memastikan sendiri ketersediaan gedung untuk acara, menyiapkan catering untuk konsumsi, sampai memastikan kehadiran artis yang diundang.

Semua kesibukan gue demi kelancaran serangkaian acara diesna GSF ini bahkan berhasil membuat gue begadang berminggu-minggu hingga melupakan waktu makan. Imbasnya, saat ini kepala gue berdenyut nyeri, sebenarnya sudah sejak sore tadi gue mulai merasa pusing. Tapi sebisa mungkin gue hiraukan dengan langsung meminum paracetamol berharap rasa pusing itu segera hilang. Tapi nyatanya saat ini rasa pusing ini semakin menjadi, bahkan sekarang rasanya seperti kepala gue sebentar lagi akan pecah.

Melangkah gontai menuju trotoar jalan untuk menyetop taksi di jam 2.20 pagi, sungguh mengerikan hidup gue ini. Dalam hati gue hanya bisa berdoa semoga tuhan sedang berbaik hati menghadirkan taksi tepat saat gue sampai di tepi jalan.

Naas, belum juga gue mencapai trotoar jalan, kepala gue rasanya semakin berat. Pandangan mata mulai mengabur, berkali-kali gue mengedipkan mata berharap indera penglihatan gue ini kembali jernih. Tapi yang ada justru tubuh gue yang mulai limbung, hingga dalam detik berikutnya yang gue rasakan adalah dekapan seseorang yang mencegah tubuh gue mencium aspal dingin malam ini.

"Fara, bangun Ra." Suara itu adalah hal terakhir yang gue dengar, sebelum tangan pria yang suaranya sangat gue kenal ini membopong tubuh gue ketika mata gue sudah tidak mampu terbuka dan tubuh gue kehabisan tenaga.

"Allen." Panggil gue dengan suara yang begitu lemah ke sosok pria yang saat ini duduk di kursi kemudi. Membuat pria itu menoleh dengan raut khawatir. Gue baru saja membuka mata ketika mobil Allen sudah menjauh dari lokasi acara malam ini.

"Fara, kamu nggak papa? Badan kamu panas banget." Ujarnya dengan satu tangannya yang terulur menyentuh dahi gue.

"Anterin ke apartemen aku ya."

"Nggak ke rumah sakit aja? Kamu pucet banget Ra."

"Nggak usah, aku ada obat kok di apartemen. Lagian aku cuma kecapekan." Malihat wajah Allen yang penuh kekhawatiran, gue berusaha meyakinkan pria itu dengan sisa tenaga yang ada.

Akhirnya Allen tidak lagi menjawab, hanya diam dan menatap mata gue untuk memastikan sesuatu sebelum akhirnya tangannya terulur lagi dan mengelus puncak kepala gue dengan lembut.

"Minum dulu Ra." Ucapnya mengulurkan sebotol air mineral setelah tangannya terlepas dari puncak kepala gue.

Tak lama kemudian mobil range rover yang saat ini gue tumpangi sudah memasuki bagian parkir gedung apartemen gue.

Turun dari mobil Allen, gue berjalan lemas ke arah lift, membiarkan Allen mengikuti gue dari belakang.

"Aku boleh mampir kan? Aku akan pulang setelah memastikan kamu baik-baik saja." Tanyanya yang hanya gue balas dengan sebuah anggukan kecil.

Setelahnya Allen berjalan mendahului gue begitu akan sampai di lift, seperti biasa tangannya memencet tombol lift kemudian membiarkan gue masuk lebih dulu.

Caffeine (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang