Prolog

10.1K 470 7
                                    

Ia bangun lagi saat langit sudah gelap. Sudah sebulan ini memang jam tidurnya selalu tertukar begini. Yang jelas, Tita memang tidak menunjukkan keterkejutannya saat mendapati sosok yang duduk sambil membaca buku di pojok kamar sana.

Kalau Arga tidak segera menutup bukunya dan berucap, "makan dulu." Tita pasti sudah mengira orang itu hantu.

"Gak usah sok baik."

"Atau kamu gak selera makan bubur?"

"Saya gak selera ngapa-ngapain kalo liat muka kamu di sini. Ngapain sih ke sini mulu?"

"Saya khawatir."

"Khawatir atau kasian?"

"Keduanya."

"Saya gak butuh dikasianin sama orang seperti kamu!"

"Terserah kamu, tapi sekarang makan dulu."

Tita bahkan begitu berapi-api sampai air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya, tapi laki-laki ini selalu punya jawaban yang bisa menghentikannya bicara.

"Dok, asal kamu tau, saya benci banget sama dokter. Saya benci fakta di mana saya lebih milih ngejar dokter, dan gak berada di samping Mama saya malem itu."

Arga mengangguk, "Iya saya mengerti dan saya minta maaf."

Tita terisak begitu kencang, sampai dadanya terasa sakit. Kemudian ia merasakan tangan Arga yang mengusap-usap kepalanya.

"Saya malah ngejar-ngejar dokter yang gak pernah suka sama saya, seakan-akan dapetin dokter itu segalanya buat saya. Tapi sekarang saya justru berakhir kehilangan segalanya."

Lelaki itu terdiam dan membiarkan Tita larut dalam isakannya cukup lama, sampai akhirnya Arga terdengar berucap, "kamu mau gak menikah dengan saya?"

Tentu saja Tita terkejut atas pertanyaan Arga, karena bagaimana bisa ia menikah dengan seseorang yang saat ini paling ia benci?

Tentu saja Tita terkejut atas pertanyaan Arga, karena bagaimana bisa ia menikah dengan seseorang yang saat ini paling ia benci?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
TitaniumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang