Malam itu Arga pulang terlambat ke rumah karena ia baru selesai melakukan bedah sesar. Sebelum ada bayi di rumah, Arga biasanya memutuskan untuk tidur sebentar di rumah sakit dan pulang ketika matahari sudah terbit.
Tapi jika ia tidak pulang ke rumah malam ini, ia memiliki kekhawatiran bahwa Tita bisa jadi sedang sangat membutuhkan kehadirannya.
Dan kekhawatirannya itu betul saja, karena begitu Arga tiba di rumah dan membuka pintu kamar, Tita sedang menangis sambil memeluk kedua lutut dan membenamkan kepalanya. Suara tangisannya tidak terdengar karena teredam oleh suara tangisan Ganish, kedua perempuan itu menangis bersama.
Itu membuat Arga segera mengambil langkah seribu untuk menggendong Ganish dan menenangkannya, sedangkan Tita rupanya baru sadar kalau Arga sudah berada di sana ketika jemari lelaki itu terasa mengelus puncak kepalanya.
"Kamu udah bisa istirahat," ucap Arga. "Biar saya yang nidurin Ganish."
Tita mengangguk, mengusap air mata yang berlinang di pipi, dan meraih handuk. "Pertama-tama, aku mau mandi dulu." Sebab ia tak sedikit pun punya waktu untuk sekedar mandi sejak tadi pagi.
Tidak sampai tiga puluh menit memang, tapi setidaknya Tita punya waktu untuk dirinya sendiri sampai akhirnya ia selesai mandi dan melangkah keluar. Ia segera mendapati Arga yang duduk sambil menyenderkan punggungnya di headboard ranjang. Mata lelaki itu terpejam, setengah mengantuk, dengan tangan yang masih sibuk mengusap-usap punggung Ganish yang sudah terlelap di pelukannya.
Arga membuka mata saat ada sepasang telapak tangan yang dingin mengambil Ganish dari gendongannya dan menempatkan puteri mereka yang sudah terlelap itu ke box bayi di sebelah ranjang.
Tita kemudian membuka lilitan handuk di rambutnya yang basah, dan duduk di depan cermin rias. Dari balik punggung isterinya, Arga tau kalau Tita bukannya sedang melakukan skincare rutin sebelum tidur, sudah lama rangkaian kebiasaan itu Tita lewatkan. Jika punya waktu luang walau sedikit, Tita lebih sering memanfaatkannya untuk melakukan kontemplasi, atau mungkin memompa ASI seperti yang saat ini tengah ia lakukan.
Arga mendekat pada Tita hanya untuk memberikan usapan kepala sebelum lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi. Sekitar lima belas menit setelahnya lelaki itu sudah keluar dan mendapati Tita sudah selesai mengisi sebotol susu dengan ASI.
Perempuan itu mendongak dengan matanya yang terlihat luar biasa bengkak akibat menangis. "Sini deh."
Arga menghampiri Tita dan berdiri di sampingnya, dan membiarkan perempuan itu memeluk pinggangnya selama beberapa menit.
"Tadi aku nangis, soalnya otak aku nge-blank. Ganish nangis kenceng banget, Aku takut dia kenapa-napa."
"Dia cuma ngantuk."
Tita mengangguk dan melepas pelukannya. Ia mendapatkan elusan di kepalanya, berikut Arga yang menggandeng Tita untuk mengikutinya duduk di atas ranjang. Pria itu menepuk-nepuk pahanya, bermaksud agar Tita duduk di pangkuannya.
Tita berakhir duduk di atas pangkuan Arga dan membenamkan wajahnya di bahu suaminya, rasanya begitu hangat dan nyaman. "Mas..."
"Hmm?"
"Makasih ya udah jadi orang ganteng."
"Maksudnya?"
"Iya, seenggaknya walaupun kamu banyak salah ke aku, udah bikin perut, paha, dan betis aku banyak stretchmarknya kayak sekarang, wajah kamu yang kayak dewa Yunani itu bisa menyelamatkan mood aku."
Arga tersenyum simpul, "Makasih juga ya, sudah jadi perempuan kuat dan baik."
Perempuan itu segera mengangkat wajahnya dengan ekspresi kesal, "jadi aku gak cantik?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Titanium
Romance(SUDAH TAMAT) Mulanya membenci, kemudian menyukai, dan akhirnya membenci lagi. Tita mengalami ketiga fase itu pada sosok Arga. Tapi di saat ia sedang mengalami fase yang ketiga yaitu membenci, Arga justru dengan mantap mengajaknya menikah. Dan Tit...