8

2.2K 230 8
                                    

1 bulan kemudian


Tita masih belum bisa melupakan bagaimana malam itu masih terasa sangay menakutkan dan terus menghantuinya di setiap hari.

Maksudnya adalah malam di saat Mamanya menghembuskan napas terakhir, dan ia tidak berada di sana di saat perempuan paruh baya itu paling membutuhkan kehadirannya.

Kalau saja Tita tidak menonton konser, tidak. Kalau saja Tita tidak sebegitu menyukai Arga, ia pasti berada di rumah saat malapetaka itu  terjadi, DAN setidaknya, Mamanya bisa segera mendapatkan pertolongan pertama saat mengalami pecah pembuluh darah.

Kini Tita membenci Arga. Sangat benci.

Apakah ia terlihat seperti mencari alasan yang ia buat untuk mencari pihak yang bisa disalahkan? Tita tidak tau, tapi yang jelas hanya untuk menatap laki-laki dingin bernama Arga itu lagi, Tita tidak sudi.

Menyukai Arga bisa begitu merusak hidupnya.

Tita masih memeluk kedua lututnya. Ia tidak tau apa yang pertama-tama harus ia lakukan untuk menata hidupnya selepas kepergian Mamanya. Ponselnya sengaja ia matikan karena ia tidak mau menerima panggilan dari siapapun,  tapi sama seperti hari-hari sebelumnya, orang yang paling ia benci itu lagi-lagi datang.

"Saya bawa bubur ayam. Kamu udah makan?"

Tita bahkan tidak repot-repot mendongak untuk tau Arga sedang berdiri di ambang pintu kamarnya, dan yang ia lakukan untuk merespon pertanyaan Arga adalah kembali bergelung di dalam selimut sampai Tita tidak sadar ia jatuh terlelap di sana.

Ia bangun lagi saat langit sudah gelap, sudah sebulan ini memang jam tidurnya selalu tertukar begini. Yang jelas, Tita menyembunyikan keterkejutannya saat mendapati sosok yang duduk sambil membaca buku di pojok kamar sana. Kalau Arga tidak segera menutup bukunya dan berucap, "makan dulu." Tita pasti sudah mengira dia hantu.

"Gak usah sok baik."

"Atau kamu gak selera makan bubur?"

"Saya gak selera ngapa-ngapain kalo liat muka kamu di sini. Ngapain sih ke sini mulu?"

"Because you're trying to kill yourself. Makan dulu."

"Khawatir apa kasian?"

"Keduanya."

"Sekarang saya udah gak butuh diperhatiin sama orang seperti kamu!"

"Terserah kamu, tapi sekarang makan dulu."

Tita bahkan begitu berapi-api sampai air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya, tapi laki-laki ini selalu punya jawaban yang bisa menghentikannya bicara.

"Dok, asal kamu tau, saya benci banget sama Dokter. Saya benci fakta di mana saya lebih milih ngejar dokter, dan gak berada di samping Mama saya malem itu."

Arga mengangguk, "Iya saya mengerti dan saya minta maaf."

Tita terisak begitu kencang, sampai dadanya terasa sakit. "Saya malah ngejar-ngejar Dokter yang gak pernah suka sama saya, seakan-akan dapetin Dokter itu segalanya buat saya. Tapi saya justru berakhir kehilangan segalanya."

Lelaki itu terdiam dan membiarkan Tita larut dalam isakannya cukup lama sampai akhirnya Arga terdengar berucap, "Apakah kamu mau menikah dengan saya?"

Tentu saja Tita terkejut atas permintaan Arga, karena bagaimana bisa ia menikah dengan seseorang yang saat ini paling ia benci?

Tapi, bukannya menikah juga adalah cara terampuh baginya?

Untuk dapat membuktikan sendiri pada Arga, betapa Tita sekarang sangat membencinya.

TitaniumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang