Chapter 17

3 1 0
                                    

Sepeningal Mila, kupeluk Ana, menangis di bahunya menumpahkan air mata yang sudah kutahan sejak tadi. Safana membimbingku untuk duduk di bangku dan meminta tolong pegawainya untuk membuatkan secangkir coklat panas untukku.

"Mas Banyu, Ana. Mas Banyu, sakit kanker hati dan sudah terindikasi sirosis," isakku perih.

Ana mengusap pundak dan mengecup puncak kepalaku. "Shhhh ... istighfar Mbak," ucapnya menenangkanku.

"Iya Mbak, istighfar. Ini coba di minum dulu coklat hangatnya biar Mbak, tenang," saran Aji. Lalu dia duduk menempati bangku di sebelah Ana.

Ana mengambil cangkir berisi coklat hangat yang di sudah dibuatkan dan diberikan oleh pegawainya kemudian menyorongkannya ke mulutku. "Minum Mbak, supaya tenang," Perlahan kumasukkan cairan coklat kental hangat ke dalam mulutku untuk menenangkan diri.

Ana dan Aji, membiarkan diriku melepaskan tangisku. Seiring dengan meredanya tangisku. "Bagaimana ini Ana, Mbak, binggung dan kaget mendengar informasi seperti ini mengenai keadaan Mas Banyu yang sesungguhnya. Mbak, nggak tau mesti bersikap seperti apa di hadapan Mas Banyu nanti saat mengantar anak-anak kesini. Apakah Mbak, pura-pura tidak mengetahuinya?" Mataku melihat ke arah Ana dan Aji meminta saran mereka.

"Menurut Aji, sebaiknya Mbak cari waktu yang tepat untuk menanyakan tentang penyakit yang di derita oleh Mas Banyu. Jika, menanyakan dalam kondisi seperti ini. Aji, takutnya Mbak, nggak bisa menahan diri dan nanti malah tidak baik hasilnya," ucapnya pelan mungkin takut aku tersinggung dengan sarannya.

Kuhirup udara untuk mengisi paru-paru dengan sedikit tersenggal akibat masih tersisa isak tangisku. "Benar apa yang di katakan Mas Aji, saat ini Mbak, masih kaget mendengar berita tadi. Sebaiknya, Mbak, tenangin diri dulu. Menanyakan sesuatu yang krusial buat Mas Banyu butuh suasana hati dan pikiran yang tenang Mbak. Jangan grasa grusu." Ana memberikan saran yang kurang lebih sarannya sama dengan suaminya.

Aku terdiam mencoba mencerna saran mereka. Akhirnya dengan menyeka bulir air mata yang masih tersisa di sudut mataku kuberucap,"kalian benar, Mbak, harus tenang dan memikirkan suasana Mas Banyu untuk menanyakan sesuatu yang mungkin tidak mau diberitahu kepadaku. Mbak, harus bisa mencari waktu ya tepat." Mereka pun kompak mengangguk.

"Jikalau, Mas Banyu menyatakan semuanya kepada Mbak, In Syaa Allah dengan sekuat tenaga aku akan membantu Mas Banyu untuk mencarikan pendonor." Aji berkata kepadaku. Tatapan mataku yang sebelumnya melihat ke depan beralih menatap Aji.

"Mencari pendonor untuk organ tubuh itu tidak mudah, Aji," ucapku. "Banyak kriteria dan prosedur yang harus di penuhi. Mbak, mungkin bisa tapi jika golongan darah berbeda kemungkinan tidak bisa. Kamu sendiri ada riwayat jantung jadi otomatis tidak bisa," lanjutku kembali terisak. Aku sebenarnya jarang menangis, namun, entah kenapa saat mengetahui sakit yang di derita Mas Banyu hati ini terasa perih. Kenapa Mas Banyu menyembunyikan hal sebesar ini kepadaku, apalagi informasi dari Mila bahwa dia menderita penyakitnya saat masih bersamaku.

"Mbak." Terdengar suara Aji di telingaku.Kumenatap nanar kearahnya. "Aji, akan berusaha semampunya untuk membantu Mas Banyu. Nanti, coba Aji bicarakan dengan Mas Banyu saat waktunya tepat." Aji mencoba menenangkanku.

"Iya, Mbak sebaiknya dibicarakan dulu kepada Mas Banyu dan jika Mas Banyu setuju kami akan membantu semampu dan sekuat kami untuk mencari pendonor untuknya." Ana ikut menguatkan pernyataan suaminya. Aku hanya bisa menganguk.

*****

Menjelang malam aku masih duduk di sofa tidak bergairah sama sekali. Tubuhku lemas bergeleyar serasa tak bertulang klapertaart lezat buatan Ana yang biasanya kulahap dalam waktu sekejap ini sama sekali tidak kusentuh demikian pula dengan teh hangat chamomille tanpa gula masih setengah penuh dalam cangkir yang terletak di atas meja di hadapanku.

Ana dan Aji, hanya bisa memandangiku dari kejauhan. Mereka mencoba membiarkan diriku sendiri menyesap informasi yang membuat mereka juga terkejut. Waktu sudah menunjukkan hampir jam 9 malam, waktunya anak-anak pulang di antar Mas Banyu.

"Assalamualaikum." Terdengar suara salam anak-anak mengiringi langkah kaki mereka memasuki kedai. Diandra menghampiri dan memelukku sedangkan Arya memeluk Aji dan Ana sebelum akhirnya memeluk dan mencium pipiku. Kupeluk erat dirinya, kuhirup wangi tubuhnya yang sedikit lengket karena keringat. Enggak berapa lama terdengar suara bariton milik Mas Banyu terdengar mengucapkan salam, kami pun kompak membalasnya.

"Fia, maaf ya agak telat tadi sedikit macet di jalan," jelasnya kepadaku mengenai keterlambatan mengatarkan anak-anak. Biasanya jam 8 malam sudah anak-anak sudah diantar olehnya.

"Iya Mas, nggak apa-apa kok," ucap Ana mewakiliku yang masih terdiam di sofa. Mas Banyu melihat ke arah Ana dengan mata bertanya, Ana hanya mengeleng dan mengendikkan bahu begitupun dengan Aji melakukan hal yang sama saat Mas Banyu meminta penjelasan kepadanya melalui matanya.

"Fia." Kudengar suara Mas Banyu memanggilku. Kurasakan sofa di sebelahku terasa menurun saat dia duduk di sebelahku. Masih dalam diam dan tidak menjawab panggilannya. Kulihat dari sudut mataku Ana dan Aji mengajak anak-anak menuju rumahnya melalui pintu samping kedai dan meninggalkan kami berdua dengan sebelumnya Aji membalik tulisan open menjadi closed dan disamping itu juga sudah tidak ada pelanggan di kedainya.

"Kenapa Mas. Kenapa Mas, nggak pernah cerita kepadaku mengenai penyakitmu kepadaku? Kenapa Mas.? Dengan suara lirih ku bertanya padanya. Mataku bertemu dengan matanya. Kulihat netranya mengecil sebentar ada terkejutan disana.

"Penyakit apa Fia,? Kamu jangan mengada-ada ah ... aku sehat kok," sanggahnya dengan memberikan senyum yang kikuk menurutku.

"Nggak perlu Mas, tutup-tutupi lagi dariku. Aku sudah tau semuanya dari Mila." Mataku mencari matanya meminta penjelasan kepadanya.

Dia menatapku namun, perlahan menyandarkan tubunhya di sofa. "Kamu yang bertanya pada Mila atau Mila yang bercerita kepadamu?" tanya nya sambil menatapku tajam.

"Jangan marahin Mila, aku yang memaksanya memberitahu semuanya karena aku curiga dengan perubahan fisikmu Mas. Kamu semakin kurus, warna mata kamu, kulit kamu juga nggak normal. Sebagai orang yang pernah hidup denganmu aku tau ada yang berubah pada dirimu Mas," tanyaku penuh selidik kepadanya.

"Jawab Mas, kenapa kamu tidak mau berbagi denganku mengenai penyakitmu," desakku dengan sedikit kugoncang lengannya. Dia tetap bergeming hanya memandangku sendu dan kemudian terdengar suaranya memintaku segera pulang.

"Sudah-sudah, nggak ada yang perlu dibagi dan dijelaskan. Sudah malam kamu dan Arya butuh istirahat apalagi kamu setir mobil sambil membawa Arya butuh konsetrasi. Aku janji akan menjelaskan semuanya di saat kamu tidak dalam keadaan seperti ini," ucapnya tegas kepadaku.

"Tapi Mas, ̶ "

"Sudah, Fia, Mas kan sudah janji akan memberitahumu tapi, tidak saat ini dan sekarang Mas mohon kamu turuti apa kataku ya. Sudah malam, Arya, butuh istirahat." Tegasnya.

Aku melihat ke arah matanya.

"Iya, Fia, Mas janji akan Mas, jelaskan ya. Sekarang kamu panggil Arya, kamu pulang dan kamu istirahat." Nadanya setengah memohon setengah memerintah kepadaku.

Aku pun hanya bisa pasrah dengan langkah gontai kumenuju rumah Ana untuk mengajak Arya pulang ke rumah kami.

Setelah berpamitan dengan Ana dan Aji, akhirnya aku pun pulang dan berharap Mas Banyu memberikan penjelasan secepatnya kepadaku. Mas Banyu masih terdiam saat mengantar kami menuju mobil dan hanya memeluk Arya dan berpesan hati-hati dalam perjalanan.

Kutatap jagoan kecilku yang terlelap di kursi sebelahku. Entah kenapa air mata ini kembali mengalir. Ya Allah, sehatkanlah Mas Banyu, walaupun kami tidak bisa bersatu tapi setidaknya dia bisa melihat Arya tumbuh dewasa. Kuberdoa dalam hati.

 🌸🌸🌸🌸🌸

jangan lupa klik vote dan tinggalin jejak berupa komen, saran dan kritik ya, Terima kasih.

SOFIA (Rahasia di balik perpisahan) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang