Chapter 41

2 1 0
                                    


"Paling tidak izinkan aku melaksanakan amanah almarhum Banyu, Fia," lirihnya perlahan kepadaku.

Mataku mencari maksud apa yang Wira baru saja di katakan oleh Wira.

"Amanah? Amanah apa yang harus kamu laksanakan dari almarhum Mas Banyu, Wir?"

Keheningan kembali terjadi.

*****

Dia melepaskan genggaman tangannya padaku dan berubah posisi tangan melipat di depan dada sementara, bahunya bersandar pada sandaran sofa. Masih terdiam menunggu Wira berbicara, mataku tak lepas memandangnya.

"Ingatkah kau waktu kita ke Anyer pertama kali mengunjungi Banyu? Banyu dan aku berbicara banyak saat kau meninggalkan kami berdua di teras setelah Banyu sadar dari pingsannya." Aku mencoba mengingat dan mengangguk saat teringat peristiwa itu.

"Ketika kau meninggalkan kami, Banyu bertanya kepadaku, apakah aku mencintaimu? Aku menjawab jujur sesuai dengan apa yang kurasakan bahwa aku mencintaimu dan mengatakan bahwa di masa lalu kau dan aku merupakan sepasang kekasih."

"Banyu tampak tidak terlalu kaget mendengar kisahku dan menanyakan kenapa aku dan kamu bisa berpisah? Aku menjelaskan bahwa diriku lah yang paling bersalah dalam hal ini karena telah meninggalkanmu begitu saja."

"Aku terkejut saat Banyu tiba-tiba memegang bahuku dengan kencang dan memintaku untuk meyakinkanmu untuk menerima cintaku kembali. Banyu memintaku untuk mengantikan dirinya menjagamu dan Arya, mengawal Arya sampai besar dan menjadikan anak yang kelak membahagiakanmu karena, Banyu merasa bersalah telah membuatmu menderita selama ini dengan perbuatannya kepadamu dan Arya."

"Lalu kau hanya diam dan setuju dengan permintaannya?" tanyaku dengan tatapan menyelidik

"Kamu berharap aku menolak atau menerima permintaan Banyu?" Wira balik bertanya kepadaku.

Aku terpaku saat mendengar pertanyaanku yang di lontarkan kembali oleh Wira.

"Jawab Fia, jika kamu menjadi aku, kamu akan memberikan jawaban apa?" Kurasakan matanya menatap tajam ke arahku.

"A-aku tidak tau Wira, mungkin aku aku akan bingung, karena aku belum siap akan permintaan Banyu," ucapku sedikit terbata dan menjawab dengan jawaban yang terlintas cepat di kepalaku.

Wira mencondongkan wajahnya mendekat ke wajahku. Aku sedikit memundurkan wajahku, takut terlalu dekat dengan wajah Wira. Netranya menatap netraku, sikapnya yang seperti itu menambah rasa gugup dan aku merasa terintimidasi dengan sikapnya.

"Kau tau Fia, jawaban yang kuberikan kepada Banyu? Aku mengatakan aku bersedia, Fia."

"Aku bersedia untuk mengantikan dirinya menjagamu dan Arya, mengawal Arya sampai besar dan menjadi anak yang bisa membahagiakanmu. Namun, untuk membuat hatimu menerima cintaku kembali aku tidak bisa berjanji," ucapnya kepadaku bahunya sedikit naik saat mengucapkan kalimat terakhir.

Tengorokanku kembali tercekat mendengar ucapannya di bagian akhir. Pikiranku berkecamuk di kepalaku yang kecil, sedangkan tanganku sibuk memilin serbet kecil di meja. Aku tidak berani menatap wajahnya. Entah kenapa seketika otakku menjadi blank ̶ ̶ kosong̶ ̶ padahal sebelumnya aku sudah mantap dan yakin dengan keputusan yang akan kusampaikan kepada Wira.

"Baiklah, Fia, aku sudah memberitahumu apa yang memang semestinya kamu harus tahu. Oh iya satu lagi saat aku menengok Banyu di rumah sakit, dia kembali memintaku berjanji kembali untuk melaksanakan permintaanya itu dan aku kembali menyangupinya, mengenai nanti kamu akan terima aku atau tidak itu urusan belakangan karena aku masih berharap Banyu akan sehat kembali."

"Dan sekarang aku di sini memenuhi undanganmu dan menunggu kabar darimu mengenai pinangan aku dan aku tegaskan sekali lagi, keputusan kamu jangan berubah setelah tau mengenai permintaan Banyu kepadaku. Aku ingin keputusan yang memang dari hati kamu tanpa di pengaruhi oleh hal lainnya dan aku siap mendengarkan dan menerima keputusanmu walaupun keputusanmu mungkin membuatku kecewa dan sedih."

Kuhirup udara di sekitarku untuk memenuhi paru-paru yang mendadak sesak, mengisi ruang-ruang di otakku berharap dengan adanya oksigen segar di otakku bisa kembali berpikir jernih. Setelah kurasa cukup, kuberanikan diri menatap wajah Wira.

Pelan kubaca Basmalah sebelum memutuskan untuk mengatakan apa yang sudah kujanjikan yaitu keputusanku atas pinangan Wira.

"Wir, aku tidak mau mengabaikan perasaanku dan membohongi dirimu jika aku menerima cintamu kembali. Namun, aku juga tidak bisa menghilangkan perasaan cinta yang dulu pernah ada bahkan tumbuh subur di dalam hatiku kepadamu. Keputusan ini berat bagiku Wir. Di satu sisi Arya sudah setuju jika posisi almarhum mas Banyu di gantikan olehmu namun, dia juga tidak memaksa aku dalam mengambil keputusan ini karena dia ingin aku mengambil keputusan tanpa ada campur tangan dia di dalamnya. Tapi aku sadar sedikit banyak keputusanku ini di pengaruhi juga oleh nya."

"Maaf Wira, untuk saat ini aku masih belum bisa menerima pinanganmu. Aku juga nggak bisa menahan jika rasa suatu hari rasa cinta yang pernah hilang bisa tumbuh subur kembali. Jadi semua kukembalikan kepadamu Wira. Jika kamu mau menunggu rasa itu hadir kembali di hatiku atau aku terima konsekuensinya kamu meninggalkanku dan Arya. Mengenai amanah mas Banyu, aku berharap beliau mengerti dengan keputusanku."

"Hufft! Lega rasanya sudah mengeluarkan semua yang ada di hatiku.

Kulihat Wira memajukan badannya dengan siku bertumpu pada meja dan jemarinya di tangkupkan di depan wajahnya. Matanya menatapku penuh misteri. Kulipat tanganku di depan dada dengan bahu bersadar di sandaran sofa badanku terasa lemas seolah tulang-tulangku berubah menjadi lunak dan butuh sandaran agar tidak terjatuh.

"Oke Fia, kuterima keputusanmu." Sahutnya memecah kesunyian yang di akibatkan oleh pernyataanku mengenai jawaban yang kuberikan kepadanya.

"Tapi ...," ucapnya mengantung membuat dada ini berdebar menunggu kelanjutan ucapannya.

Bersambung yaaa....

🌸🌸🌸🌸🌸

jangan lupa tinggalin Jejak vote, komen dan krisan yaa...

Terima kasih

SOFIA (Rahasia di balik perpisahan) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang